Denpasar (Antara Bali) - Ketua Komisi I DPRD Bali I Made Arjaya mengatakan, pihaknya akan memanggil kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) kabupaten dan kota di Bali serta kepolisian, terkait adanya pungutan liar dalam program nasional atau prona penyertifikatan tanah milik warga.
"Hasil rapat komisi memutuskan untuk memanggil kepada BPN kabupaten/kota di Bali serta pihak kepolisian terkait pungutan liar (pungli) pada prona penyertifikatan tanah milik warga itu," kata Arjaya di Denpasar, Senin.
Usai rapat tertutup Komisi I DPRD Bali, ia mengatakan, pihaknya ingin mendapatkan penjelasan terkait proses penyentifikatan tanah tersebut hingga kemudian munculnya pungli kepada masyarakat.
"Hal ini yang kami ingin tahu. Bagaimana proses dan prosedur prona itu kok sampai ada biaya yang dikeluarkan warga untuk mengurus sertifikat tanahnya. Padahal semuanya sudah ditanggung oleh negara," katanya.
Dikatakan, pengaduan sejumlah warga terhadap pungli tersebut kini sudah masuk ke meja dewan. "Maka dari itu dewan harus segera bersikap agar jangan sampai ada korban berikutnya," ujarnya.
Pemanggilan kepada instansi tersebut sudah dijadwalkan, yakni pada dua pekan mendatang. "Kami harapkan kepala BPN dapat menjelaskan secara rinci, termasuk juga kuota perolehan prona di masing-masing kabupaten/kota," ucap politisi PDIP itu.
Menurut Arjaya, kalau prona tersebut berdasarkan kuota di masing-masing kabupaten/kota, mestinya BPN terlebih dahulu melakukan sosialisasi kepada aparat desa dan warga. Hal ini penting agar terjadi transparansi di masyarakat.
"Kalau itu berdasarkan kuota, harus disampaikan kepada masyarakat. Dan yang belum harus diberikan solusinya atau menunggu anggaran berikutnya. Bukan sebaliknya diberikan kesempatan oleh oknum-oknum tertentu untuk bermain, sehingga warga yang kurang informasi mengenai proses pengurusan prona, kemudian harus mengeluarkan uang," katanya.
Padahal, kata dia, prona ini bertujuan untuk membantu warga masyarakat agar memiliki bukti kepemilikan tanah, di samping juga memudahkan dan menyadarkan warga untuk membayar pajak atas tanah tersebut.
"Jika mereka sudah memiliki sertifikat tanah, maka pemasukan dari pajak tanah kepada kas negara akan lebih transparan. Karena selama ini, terutama di pedesaan, masih banyak warga untuk membayar pajak berdasarkan surat atau pipil tanah bersangkutan," ucapnya.
Sebelumnya, warga di beberapa kabupaten di Bali, seperti Kabupaten Buleleng dan Badung mengeluh karena untuk mengurus prona tersebut harus menyerahkan sejumlah uang.
Di kedua kabupaten itu, untuk mengurus prona warga dikenakan biaya administrasi berdasarkan luas tanah yang akan mendapat sertifikat. Biaya yang dikenakan mulai Rp800 ribu hingga Rp1 juta lebih per sertifikat.(*)