Surabaya (Antara Bali) - Mantan Mendikbud Mohammad Nuh akan menerima penghargaan "The Order of The Rising Sun" dari Pemerintah Jepang, karena dianggap berjasa dalam mengembangkan hubungan antar-universitas dan mengembalikan tulang tentara Jepang yang gugur di kawasan Papua.
"Saya akan menerima penghargaan itu dari Perdana Menteri Jepang Abe pada 10 Mei 2016, lalu bertemu Kaisar Jepang," kata Nuh yang juga Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) ITS setelah rapat perdana MWA di Rektorat ITS Surabaya, Sabtu (30/4).
Didampingi Rektor ITS Prof Joni Hermana, ia menjelaskan tahun 2016 ada 20 penerima penghargaan yang sama dari seluruh dunia, namun hanya delapan penerima yang diundang ke Jepang untuk menerima langsung dari Pemerintah Jepang.
"Alhamdulillah, saya termasuk salah satu dari penerima penghargaan yang diundang ke Jepang, sedangkan penerima penghargaan lainnya akan menerimanya dari Kedutaan Jepang pada masing-masing negara," katanya.
Menurut Nuh yang juga mantan Rektor ITS itu, ada sejumlah alasan yang mendasari pemberian penghargaan itu kepada dirinya, diantaranya dirinya dianggap mampu meningkatkan hubungan baik antara Indonesia dan Jepang, khususnya hubungan antar-universitas Indonesia-Jepang.
"Dalam era kepemimpinan saya sebagai Menteri (Mendikbud), jumlah mahasiswa Indonesia yang studi di Jepang meningkat dan jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar Bahasa Jepang juga meningkat, termasuk mahasiswa Jepang yang belajar Bahasa Indonesia," katanya.
Selain itu, dirinya juga sempat membentuk Asosiasi Rektor Universitas Jepang-Indonesia dengan pertemuan pertama di Nagoya University pada tahun 2012 yang dihadiri para pejabat dan diplomat di Jepang.
Namun, alasan yang di luar dugaan adalah dirinya dianggap berjasa mengembalikan tulang tentara Jepang yang gugur dan berserakan di beberapa lokasi di Papua selama Perang Dunia II untuk dikuburkan kembali di Jepang.
"Soal tulang itulah yang aneh, namun hal itu menunjukkan penghargaan bangsa Jepang yang tinggi kepada nenek moyangnya, meski sudah menjadi tulang belulang," katanya.
Sebelumnya, pemerintah Jepang merasa kesulitan mengembalikan tulang itu ke Jepang, karena benda bersejarah yang berusia di atas 50 tahun itu dianggap cara budaya.
"Nah, saya menggunakan pendekatan lain, karena saya menganggap Indonesia tidak berkepentingan dengan tulang-tulang itu, lalu saya konsultasi ke Unesco bahwa tulang-tulang itu bukan cagar budaya tapi urusan humanity (kemanusiaan) dan akhirnya diterima," katanya. (WDY)