Jakarta (Antara Bali) - Koordinator Jaksa Agung Muda Perdata dan TUN
Kejaksaan Agung Muhammad Dofir menyebutkan, frasa "permufakatan jahat"
dalam Undang-Undang tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU
Tipikor) merupakan pilihan kebijakan pembuat UU untuk mencegah
terjadinya tindak pidana korupsi.
"Pencantuman frasa permufakatan jahat didasarkan adanya keinginan
kuat dari pembuat undang-undang untuk mencegah terjadinya tindak pidana
korupsi yang meluas dan sistematis," ujar Dofir di Gedung Mahkamah
Konstitusi Jakarta, Senin.
Hal ini dikatakan oleh Dofir saat memberikan keterangan dari pihak
Pemerintah dalan sidang uji materi UU Tipikor yang dimohonkan oleh
mantan ketua DPR RI Setya Novanto.
Dofir mengatakan bahwa pemerintah menilai frasa tersebut dapat
menjadi peringatan bahwa seseorang dapat dipidana, apabila memiliki niat
untuk melakukan kejahatan.
"Jadi, baru tahapan niat saja dapat dikenakan pidana," kata Dofir.
Sebelumnya Novanto sebagai pemohon menilai bahwa pengertian tentang
"permufakatan jahat" yang menjadi acuan UU Tipikor, adalah tidak jelas
dan berpotensi menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi.
Novanto kemudian berpendapat bahwa frasa tersebut dapat menimbulkan penafsiran yang beraneka ragam dari pakar hukum pidana.
Saat ini Novanto masih berstatus sebagai terperiksa dalam
penyelidikan atas dugaan tindak pidana korupsi permufakatan jahat atau
percobaan tindak pidana korupsi dalamperpanjangan kontrak PT. Freeport
Indonesia. (WDY)
Frasa `Permufakatan Jahat` untuk Cegah Tindak Pidana Korupsi
Selasa, 12 April 2016 8:02 WIB