Denpasar (Antara Bali) - Sebanyak 20 orang kepala suku dan kepala distrik di Jayapura, Papua belajar mengenai cara lembaga sosial budaya di Bali menyangkut organisasi pengairan tradional bidang pertanian (subak) dan desa adat dengan harapan dapat dikembangkan menjadi kekuatan ekonomi.
"Mereka berada di Bali selama sepuluh hari sejak 20 Februari hingga 1 Maret 2016," kata Kepala Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana Prof. Dr. Wayan Windia di Denpasar, Minggu.
Ia mengatakan, studi banding di Bali bagi kepala suku dan kepala distrik di Jayapura, Papua itu sangat penting artinya untuk menjadikan kekuatan ekonomi harus didasarkan pada basis adat dan budaya masyarakat setempat.
Mereka selama di Bali antara lain diajak mengunjungi Subak Pulagan di Tampaksiring, Kabupaten Gianyar yang merupakan salah satu subak yang menjadi warisan budaya dunia (WBD) di Pulau Dewata.
Prof Windia bersama Pekaseh Subak Pulagan, Gianyar Sang Nyoman Astika menerima kunjungan ke 20 kepala suku dan kepala distrik Jayapura ke subak Pulagan tersebut hari Sabtu (27/2).
Kepada rombongan Ia menjelaskan bahwa, nilai-nilai Tri Hita Karana yang di-implemantasikan oleh subak di Bali, khususnya di Subak Pulagan serta kekuatan adat dan budaya yang mengikat persatuan dan kebersamaan anggota subak.
Windia menyarankan agar di Papua dapat digali dan menemukan simbol-simbol yang mampu mempersatukan dan memperkuat lembaga adat setempat yang masih eksis.
Di Bali, subak adalah lembaga yang demokratis dan memiliki alat pemersatu yakni adanya kepentingan bersama terhadap sumber air, dan juga karena adanya pura subak.
Kedua hal itulah yang membuat soliditas subak hingga sekarang. Namun dibalik itu ada permasalahan yang menyangkut subak antara lain tergencet oleh pajak bumi dan bangunan (PBB) yang membuat petani putusasa, patok agraria badan pertanahan nasional (BPN) yang mengganggu aliran air irigasi ke hilir.
Demikian pula PDAM yang banyak menyedot air irigasi petani dan masyarakat yang membuang sampah sembarangan ke sungai.
Ia mengharapkan ke depannya agar petani yang terhimpun dalam wadah subak di Bali dididik untuk melakukan aktivitas ekonomi, dan pendampingan untuk meningkatkan nilai tambah produksi petani.
Windia menjelaskan, Subak di Bali sejak diakui UNESCO menjadi Warisan Budaya Dunia (WBD), sejak tahun 2012 banyak menerima kunjungan para tokoh adat dan budaya dari berbagai daerah di Indonesia.
Mereka mengunjungi dan belajar tentang sistem subak, terutama tentang nilai dan pengetahuan yang dimiliki subak, dan belajar tentang peran adat dan budaya, yang mampu melestarikan subak di Bali.
Fenomena tersebut terjadi, karena saat ini nilai-nilai adat dan budaya sudah mulai banyak mengalami degradasi. Diantaranya karena berbagai kebijakan pemerintah yang tidak relevan dengan eksistensi adat dan budaya masyarakat setempat.
"Misalnya kebijakan pemerintah untuk memberikan beras untuk penduduk miskin (raskin). Di Papua, banyak penduduk yang digolongkan miskin, yang biasanya makan sagu, lalu diberikan raskin. Maka kini mereka hanya menunggu kedatangan bantuan raskin, dan tidak mau lagi bekerja untuk mencari sagu," katanya.
Hal itu adalah sebuah pertanda bahwa akar budaya mereka sudah mulai tercabut. Mereka seratus persen menjadi orang yang tergantung pada bantuan raskin, tanpa ada kemampuan untuk menanam padi.
Oleh sebab itu menurut Prof Windia di masa depan hal ini justru akan saangat memberatkan pemerintah, dan meningkatkan ketergantungan masyarakat pada pemerintah.
Kalau pada saatnya nanti pemerintah tidak bisa lagi memberikan bantuan raskin, maka mungkin bisa terjadi gejolak sosial yang hebat. Karena dasar gejolaknya adalah masalah perut. Hal ini harus segera diantisipasi, ujar Windia.
Ia menyambut baik kunjungan 20 orang kepala suku dan kepala distrik Jayapura belajar tentang adat dan budaya Bali, terutama organisasi pengairan tradisional bidang pertanian (subak) dengan harapan dapat diterapkan di Papua. (WDY)