Semarapura (Antara Bali) - Produk industri uang kepeng yang terletak di Kabupaten Klungkung, Bali, lebih diminati masyarakat domestik untuk difungsikan sebagai salah satu rangkaian ritual keagamaan.
"Padahal dulu pernah produk uang kepeng ini diikutkan dalam pameran di Madrid, tapi respon warganya justru kurang. Malah di dalam negeri pesanan tidak pernah surut," kata I Gede Andika Prayatna Sukma, pemilik usaha uang kepeng Kamasan Bali di Semarapura, Selasa.
Dia mengatakan, sejak didirikan pada tahun 2004, permintaan uang kepeng dari masyarakat Bali atau umat Hindu di berbagai daerah di Indonesia selalu mengalami kenaikan secara signifikan dari tahun ke tahun.
"Pesanan pertama datang dari pemerintah yang memesan sebanyak 300 ribu keping uang kepeng. Uang kepeng itu kemudian disebar sebagai bantuan kepada 1.417 desa adat yang ada di Bali. Masing-masing desa adat mendapat satu ikat berisi 200 keping atau istilahnya `satakan` menurut istilah di Bali. Satu ikat harganya Rp200 ribu," ujar Andika.
Masing-masing ikatan uang kepeng itu, sengaja diberi kartu nama sebagai identitas Kamasan Bali yang diperuntukkan untuk promosi. Cara promosi ini terbukti efektif, sehingga lambat laun usaha uang kepeng itu menyebar dan diketahui masyarakat luas.
Menurut dia, uang kepeng itu dibuat menggunakan bahan baku panca datu atau lima jenis logam, mencakup perunggu-kuningan, emas, tembaga, perak dan besi. Kandungan panca datu sebagai perlambang lima kekuatan hidup yang dipengaruhi oleh kekuatan Panca Dewata.
Menurut dia, usaha ini dirintis ayahnya I Made Sukma Swacita, yang pensiun sebagai staf bank pada tahun 2004. Saat itu, sesuai SK Gubernur Bali Dewa Beratha menyatakan agar di Pulau Bali dibuat usaha uang kepeng karena selalu diperlukan dalam ritual keagamaan.
"Pada waktu itu, tidak ada yang berani mengambil pekerjaan ini karena menimbang untung dan ruginya. Ayah saya berkeputusan untuk membuat usaha uang kepeng sebagai wujud pelestarian budaya," katanya.
Keputusan itu diwujudkan dengan keberangkatan Made Sukma ke Jawa untuk mempelajari teknik pengecoran logam agar bisa menghasilkan uang kepeng yang berkualitas, dengan mencampurkan lima macam bahan baku panca datu itu.
Setelah proses itu selesai, Made Sukma kembali ke Bali dan mendirikan usaha uang kepeng di Klungkung, yang merupakan tanah kelahirannya.
"Pemilihan mendirikan usaha di Klungkung berhubung ada tanah leluhur, juga disebabkan agar ada regenerasi keterampilan mengolah logam. Selain itu, di Klungkung ada sentra kerajinan logam. Pertimbangan lain disebabkan keprihatinan mengingat generasi muda lebih suka bekerja di kapal pesiar, ketimbang menekuni usaha logam," ujar Andika.
Kini, lanjut dia, setelah usaha uang kepeng itu berjalan lancar, maka staf karyawan yang direkrut pun berasal dari daerah sekitar Klungkung. Total karyawan berjumlah 35 orang dan setiap hari mampu memproduksi 10 ribu keping uang kepeng.
"Ada sisi uniknya memiliki usaha di kampung, sebentar-sebentar ada saja karyawan izin karena ada kegiatan adat dan lainnya. Ditawari lembur agar ada uang lebih, malah tidak ada yang berminat," katanya.
Dia meneruskan, meski demikian pihaknya menyadari bahwa mungkin ini adalah hal yang harus dijalani sebagai konsekuensi memiliki usaha di pedesaan.
"Tapi kami tetap tidak menyesal, bagaimanapun industri uang kepeng ini harus tetap berjalan demi melestarikan budaya. Usaha ini juga bukan sekedar mencari keuntungan, karena saat-saat tertentu, kami pun sering menyumbangkan uang kepeng ke berbagai pura," katanya. (WDY)