Denpasar (Antara Bali) - Lukisan keramik dari Kota Denpasar, Bali, mendapat apresiasi dari konsumen Jepang karena sulit ditiru dan keunikan objeknya yang terinspirasi pada kebudayaan masyarakat Pulau Dewata.
"Lukisan keramik ini sudah dimulai sejak tahun 1984, melalui proses belajar yang cukup berliku karena saya awalnya melukis di kanvas. Tapi syukur, lama-lama karya lukis di keramik ini pernah menjadi Duta ASEAN Center dan diapresiasi positif oleh konsumen Jepang," kata Putu Yuliartha, pelukis keramik di Denpasar, Selasa.
Apresiasi dari pihak Jepang, ujar pemilik Bali Permata ini, dikarenakan mereka kagum objek lukisan sulit ditiru, dan terpesona dengan keindahan budaya Bali yang tergambar pada media keramik. Seperti, gambaran beberapa perempuan berangkat ke pura dengan membawa tandingan banten di atas kepala, penari barong, atau ekspresi kegiatan masyarakat sehari-hari.
Lelaki yang akrab dipanggil Putu Lengkong ini lebih lanjut menjelaskan, pada awalnya dirinya menggeluti seni lukis di atas keramik karena ada pembelajaran dari orang Jerman dan Australia.
Kedua orang asing itu yang mengajari tekniknya, menakhlukkan kesulitan karena menggunakan media yang tidak biasa, sampai trik meramu pewarnaan keramik. Khusus untuk pewarna keramik, sampai sekarang masih menggunakan pewarna dari Eropa.
"Setelah berhasil membuat lukisan keramik, ayah saya I Nyoman Reken yang saat itu bekerja di Bali Beach Hotel, mulai mempromosikan pada tamu dan akhirnya dari mulut ke mulut berkembang hingga sekarang," ujar dia.
Meski awalnya mengandalkan promosi dari mulut ke mulut, tapi berkat keindahan lukisan di atas keramik itu, akhirnya Putu Lengkong beberapa kali diundang ke berbagai pemeran. Baik di dalam maupun di luar negeri.
Dikatakan dia, harga lukisan keramik itu mulai dari Rp350 ribu sampai puluhan juta rupiah. Harga termahal biasanya karya-karya lukisan karena berukuran sampai dua meter dan tingkat kerumitan dalam pengerjaan.
"Kalau lukisan klasik, misalnya orang sedang memanen padi di sawah, itu menggunakan detil yang rumit. Proses pembuatan sampai berbulan-bulan, sehingga harganya bisa sampai Rp60 juta," ujarnya.
Apalagi membuat lukisan keramik itu tidak bisa dibuat instan. Mulai dari proses membikin sket, diwarnai dan terakhir dioven sampai 12 jam agar warna keramik benar-benar melekat pada medianya.
"Untuk konsumennya merata. Konsumen dalam negeri kebanyakan dari Bali atau kota-kota besar di Jawa. Pembeli luar negeri pun banyak, dari Asia, Australia, Eropa dan lainnya," ujarnya.
Dia melanjutkan, bahkan ada pembeli dari Jerman yang menjadi pelanggan dan rutin mengambil produk keramik untuk dikirim ke negaranya.
"Untuk pasar ekspor, sudah lama kami lakukan ke berbagai negara tujuan," ujar Putu Lengkong.
Sementara itu, Kepala Bidang Perdagangan Luar Negeri, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Bali, Made Suastika menyatakan realisasi perdagangan ekspor keramik maupun gerabah buatan Bali agak berkurang akibat kondisi ekonomi global yang belum tumbuh sebagaimana diharapkan.
Perdagangan ekspor gerabah buatan masyarakat Bali dalam perolehan devisanya mencapai satu juta dolar AS selama delapan bulan periode Januari-Agustus 2015.
Hasil perdagangan itu berkurang 34,19 persen, jika dibandingkan periode yang sama 2014 yang mencapai 1,6 juta dolar.
Pasaran ekspor keramik dari Bali perioda Januari-Agustus 2015 agak melorot, bahkan perolehan devisanya turun 21,62 persen, menjadi hanya 809 ribu dolar, jika dibandingkan delapan bulan pertama tahun 2014 mencapai satu juta dolar. (WDY)
Lukisan Keramik Bali Diapresiasi Jepang
Selasa, 19 Januari 2016 16:00 WIB