Denpasar (Antara Bali) - Profesi menjadi petani dan nelayan di wilayah Denpasar mulai banyak ditinggalkan warga dengan dalih penghasilannya tidak menentu dan tidak menjanjikan masa depan yang berprospek cerah.
"Misalnya petani, kalau sedang anomali cuaca maka bisa terancam gagal panen. Akibatnya bukan penghasilan didapatkan, justru malah kerugian yang harus ditanggung. Faktor ini yang membuat profesi petani tak lagi dilirik," kata Agung Sanjaya, anggota kontak tani nelayan andalan (KTNA) Kota Denpasar, ketika dijumpai di Peguyangan, Selasa.
Anak-anak muda, lanjut dia, belakangan enggan bertani dan lebih memilih pekerjaan lain yang dinilai lebih prospektif bagi masa depan. Akibatnya, pelaku tani di Denpasar mayoritas berusia 50 tahun ke atas. Lama-kelamaan, petani dikhawatirkan menjadi profesi yang langka.
Dia melanjutkan, jumlah lahan pertanian di Denpasar mencakup 2.400 hektare. Lahan ini kian menyusut karena setiap tahun rata-rata terjadi alih fungsi seluas 35 hektare.
"Dengan berbagai kendala yang dihadapi, termasuk ketika menghadapi masa panen, kondisi petani seolah makin memprihatinkan. Misalnya, ketika panen tiba, mestinya pemerintah jauh-jauh hari sudah ada persiapan untuk menampung. Berhubung pemerintah tidak melakukannya, akhirnya petani terpaksa menjual gabah ke tengkulak," ujarnya.
Apabila harga gabah yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp4.500 per kilogram, apabila saat dijual ke tengkulak dengan sistem tebas, harganya jatuh menjadi Rp3.700/kg.
Kondisi nelayan, ucap Agung, tidak jauh berbeda dengan petani. Memang laut tidak pernah menyusut, tapi setelah ada reklamasi maka penghuni laut yang menghilang.
"Dulu nelayan di Serangan bisa hidup dengan normal dan mampu menyekolahkan anak-anaknya. Sekarang sejak reklamasi pantai dan ekosistem laut terusik, maka ikan susah didapat. Untuk bisa makan sehari-hari saja sudah syukur," katanya.
Terkait dengan kondisi nelayan dan petani, maka KTNA melakukan pendampingan untuk mengedukasi cara bertani yang benar dan agar nelayan brkontribusi menjaga pelestarian terumbu karang.
Jika ada kendala permodalan untuk membeli alat tangkap ikan atau jukung, dengan bekerja sama dan ketua kelompok nelayan, KTNA akan mengajukan proposal ke pemerintah untuk permohonan bantuan.
KTNA pun membantu untuk pembentukan wanita dan pemuda nelayan. Wanita nelayan bertugas untuk mengolah hasil tangkapan, misalnya untuk dijadikan ikan pindang atau diasinkan agar lebih awet.
"Tapi memang kondisi nelayan belum menjanjikan, omzet tidak menentu. Kalau menginjak Februari, nelayan tidak berani melaut karena anginnya kencang. Terpaksa sementara beralih menjadi buruh bangunan agar bisa menghidupi keluarga," ucap Agung.
Dikatakan dia, agar nelayan bisa bertahan hidup, KTNA telah membuat program berkebun yang dapat dilakukan nelayan dan keluarganya ketika ada waktu senggang.
"Program nelayan berkebun ini diterapkan di Serangan. KTNA juga mengajari cara mengolah sampah menjadi pupuk organik dan anorganik. Sampah dipilah barangkali bisa difungsikan sebagai bahan kerajinan. Ini mendidik nelayan menjadi lebih bertahan karena kalau semata-mata bergantung pada lautan, hasilnya tidak menentu," ujarnya. (WDY)
Profesi Petani-Nelayan Banyak Ditinggalkan Warga Denpasar
Selasa, 29 Desember 2015 8:05 WIB