Kupang (Antara Bali) - Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Kupang Dr. Ahmad Atang, MSi menilai, pascasilatnas bukan membuat Golkar bersatu melalui jalan islah, namun ternyata masih menyisakan persoalan.
Persoalan yang muncul saat ini adalah berkaitan dengan format islah yang ternyata dimaknai oleh kubu Agung Laksono hanya untuk kepentingan pilkada, bukan untuk menyelesaikan persoalan inernal partai secara permanen, kata Ahmad Atang kepada Antara di Kupang, Minggu terkait islah Golkar.
"Jadi, islah melalui silatnas hanya setengah hati karena kubu Agung masih menyembunyikan kepentingannya," kata Ahmad Atang.
Kubu Agung Laksono masih menempuh jalur hukum melalui mekanisme peninjauan kembali atau pk atas keputusan MA yang memenangkan kubu Aburizal Bakrie.
"Ini dapat dikatakan bahwa silatnas sebagai media islah yang disiarkan secara langsung, hanyalah sebuah kebohongan publik. Kubu Agung sepertinya belum iklas dan rela jika Golkar dipimpin oleh ARB," katanya.
Kubu Agung Laksono berargumen bahwa keputusan MA mengembalikan kepengurusan Munas Riau menjadi pintu masuk bagi kubu Agung untuk mendesak dilakukan munas ulang, sementara kubu ARB tidak ada agenda munas ulang.
"Inilah babak baru konflik yang akan mengintai Golkar ke depan," kata Pembantu Rektor UMK itu.
Artinya, secara faktual masih terdapat dualisme kepengurusan di partai Golkar, katanya.
Kubu Agung mengijinkan kantor Golkar dipakai bersama bukan berarti meniadakan posisi Agung sebagai ketua umum yang sah versi Munas Ancol dan mengakomodasi Munas Bali.
Kedua kubu tetap menghuni satu kantor akan tetapi masih berbeda kepengurusan. Masing-masing kubu melaksanakan hak dan kewajiban berbeda.
"Aneh memang tapi itulah kenyataannya. Jika islah lahir bukan karena keiklasan maka hasilnya dapat diduga bukan untuk kemaslahatan tetapi justru kemudaratan," katanya menambahkan. (WDY)