Denpasar, 26/7 (Antara) - Selama kurun waktu lebih dari setengah abad menggeluti aktivitas memahat, khususnya seni ukir tidak terhitung entah berapa puluh atau ratus karya monumental berupa barong, rangda dan topeng yang disakralkan warga (disucikan) berhasil dirampungkannya.
Salah seorang maestro seniman Bali I Wayan Tangguh, pria kelahiran Desa Singapadu, daerah "gudang seni" Kabupaten Gianyar telah berpulang pada Selasa (21/7) dalam usia 83 tahun akibat gejala stroke.
Seniman andal yang mengantongi prestasi gemilang dan sejumlah penghargaan termasuk Dharma Kusuma, penghargaan tertinggi dalam bidang seni dari Pemerintah Provinsi Bali tahun 2002 itu sempat menjalani perawatan intensif di RSUP Sanglah Denpasar, tutur Wayan Kodi, salah seorang putra almarhum yang juga seniman serba bisa.
Wayan Tangguh semasa hidupnya selain menghasilkan karya-karya monumental yang disakralkan di Pura berbagai pelosok pedesaan di Bal juga menghasilkan karya topeng yang mendunia.
Berbagai karya topeng yang dihasilkan banyak diminati kolektor dan pengelola museum di mancanegara, karena karya seni itu mempunyai kharisma (taksu) dan mempunyai ciri khas.
Keahlian Wayan Tangguh yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal itu berawal belajar dari Tjokorda Oka Tublen (alm) dari Desa Singapadu, desa tetangganya.
Almarhum mulai belajar mengukir membuat topeng, barong dan rangda pada tahun 1946 saat berusia 13 tahun. Tjokorda Oka Tublen dengan senang hati mengajarnya, ditambah kesungguhan serta keseriusan Wayan Tangguh untuk mewarisi keahlian membuat topeng, rangda dan barong.
Berkat dedikasi dan belajar secara sungguh-sungguh itu mengantarkan dirinya sebagai sosok seniman pembuat topeng atau sejenisnya berkualitas baik.
Suami dari Ni Ketut Sukri dalam membuat karya seni menggunakan kayu pilihan sebagai bahan bakunya antara lain pohon pole, pohon yang dikeramatkan masyarakat Bali yang biasa tumbuh di kuburan atau di areal Pura.
Untuk itu pengadaan bahan baku kayu pole melalui kegiatan ritual, termasuk perhitungan hari baik. Topeng, barong dan rangda yang dibuat dari bahan baku pohon pole biasanya untuk dikeramatkan di Pura oleh warga desa pekraman setempat.
Dalam proses pewarnaan menggunakan bahan-bahan alami seperti warna merah dari gincu yang diproduksi Tiongkok yang biasa digunakan sebagai obat kulit.
Warna kuning menggunakan atal, warna oranye dari gluge, warna biru berasal dari muruh yang terbuat dari daun tanum, warna coklat dari batu pere, warna putih dari tulang babi serta pamor sebagai sumber kalsium dan fosor untuk campuran warna, di luar warna putih.
Tampilkan di Ubud
Sejumlah topeng dalam berbagai bentuk dan ukuran karya ayah dari enam putra-putri itu pernah ditampilkan dalam pameran topeng dan wayang tradisi dalam 1000 ekspresi di di Banjar Kubu Kangin, Desa Mas, perkampungan seniman Ubud.
Pameran yang menampilkan 150 buah topeng dan puluhan jenis wayang dari berbagai daerah di Indonesia, sebagai persiapan mewujudkan berdirinya Museum Topeng dan Wayang di Bali.
Topeng yang ditampilkan dalam pameran tersebut rata-rata berumur lebih dari 50 tahun antara lain dari Madura, Malang, Solo, Jogyakarta, Wonosobo, Cerebon, Betawi dan Bali sendiri.
Pameran topeng dan wayang tersebut disertai pementasan setiap malamnya kedua jenis kesenian tersebut melibatkan seniman-seniman andal seperti seniman topeng Ida Bagus Anom dan dalang cilik asal Bali.
Selain itu dipentaskan reog Ponorogo, wayang beber kontemporer dengan dalang cilik dari Malang, Jawa Timur serta demontrasi pembuatan wayang kulit Bali, wayang kamasan, lukisan wayang beber dan topeng Jogyakarta.
Topeng dan wayang adalah karya seni yang tidak pernah kehabisan daya hidup mampu mengalahkan berbagai rintangan yang datang dari dalam maupun luar negeri.
Kedua seni itu merupakan warisan karya leluhur yang teguh dalam bekerja melalui alam pikir, diolah dalam hati, diucapkan dan dituangkan dalam karya, tutur Wayan Kodi yang telah mewarisi keahlian orang tuanya itu.
Pameran di Taiwan
Wayan Tangguh yang menghayati kesanggupannya membuat topeng kelengkapan bagi seniman pentas di atas panggung erat kaitannya dengan "anugrahNYA" dan keinginan masyarakat menikmati karya seni.
Almarhum tercatat pernah sukses menggelar pameran Topeng, barong dan rangda di Taiwan sebanyak tiga kali, masing-masing pada tahun 1974, 1982 dan 1994.
Aktivitas keseharian dalam bidang seni yang kini diwariskan kepada putra-putrinya, semata-mata karena dorongan hati nurani, bukan kehendak orang tua atau lingkungannya.
Semasa kecilnya, Tangguh pernah berangan-angan menjadi seniman dalang wayang kulit. Ia pun mengenang masa kecilnya dengan aktivitas bermain wayang yang terbuat dari dedaunan, atau batok kelapa yang dibuat barong-barongan.
Bersama teman seusia dalam lingkungan tempat tinggalnya di Desa Singapadu bermain barong-barongan secara puas. Mengenai kegagalan menjadi dalang wayang kulit, Wayan Tangguh pernah berucap "Meskipun gagal sebagai dalang, anak saya sekarang ada yang menjadi dalang,".
I Ketut Dodi, salah seorang putranya memang dikenal sebagai seniman dalang wayang kulit, yang jadual pentasnya cukup padat, disamping dua putra lainnya masing-masing I Wayan Sukarya dan I Made Sutarka mewarisi keahlian membuat topeng, barong dan rangda.
Wayan Tangguh yang dikaruniai sejumlah cucu dari putra-putrinya yang sudah membentuk rumah tangga itu, mengenang masa kana-kanak membuat topeng, barong dan rangda kemudian memainkannya di sembarang tempat.
"Darah seni` itu mengalir begitu saja tanpa sentuhan dan kemasan pendidikan formal. Berbeda dengan ketiga putranya yang mewarisi `darah seni` itu dipadukan dengan pendidikan seni yang diperolehnya di perguruan tinggi. (KUN)
Profil/obituari- Tangguh Wariskan Karya Monumental
Minggu, 26 Juli 2015 13:07 WIB