Denpasar (Antara Bali) - Pengakuan UNESCO terhadap subak sebagai warisan budaya dunia (WBD) di Bali menekankan pada kemampuan tradisi budaya dalam membentuk lansekap Pulau Dewata.
"Organisasi pengairan tradisional bidang pertanian yang ada di Bali sejak abad ke-11 dan merupakan lembaga tradisional yang menerapkan filsafat Tri Hita Karana yakni hubungan yang harmonis dan serasi dalam aktivitas kesehariannya," kata Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana Prof. Dr Wayan Windia di Denpasar, Minggu.
Ia mengatakan, pengakuan dunia internasional itu mempunyai kaitan erat dengan setiap subak memiliki tempat suci (Pura) yang menjadi pusat spiritual dalam pengelolaan irigasi di kawasan subak tersebut.
Melalui kegiatan ritual persembahan dan pertunjukkan seni, sehingga Pura Subak menjadi sebuah tempat, di mana petani mencari harmoni antara mereka dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Windia menambahkan, lansekap Pulau Bali merupakan bukti tentang sistem subak yang luar biasa, sebuah sistem yang demokrasi. Sejak Abad ke-11 jaringan Pura Subak telah mengelola lingkungan ekologis sawah terasering, yang mencakup semua Daerah Aliran Sungai (DAS) di Bali.
Pura Subak merupakan solusi yang unik dalam menghadapi tantangan yang semakin komplek di masa depan. Pura Subak suatu lembaga yang unik, sejak berabad-abad yang lampau terinspirasi dari sejumlah tradisi keagamaan masa lampau di Pulau Dewata.
Berbagai ritual yang dilaksanakan di Pura Subak mengkaitkan eksistensi Pura Subak dengan pelaksanaan pengelolaan irigasi. Hal itu merupakan perwujudan dari implementasi filsafat Tri Hita Karana, di mana harus ada harmoni antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Harmoni antara manusia dengan Tuhan diwujudkan melalui ritual-ritual di Pura Subak. Oleh sebab itu, sistem subak yang mengimplementasikan filsafat Tri Hita Karana dalam aktivitasnya, disebutkan sebagai bamper dari kebudayaan Bali.
"Tri Hita Karana adalah tiga jalan untuk menuju kebahagiaan hidup, yakni, harmoni antara manusia dengan Tuhan (parhyangan), harmoni antara manusia dengan sesamanya (pawongan), dan harmoni antara manusia dengan alam lingkungannya (palemahan)," ujar Windia.
Untuk aspek "parhyangan" dilakukan oleh anggota subak dengan melaksanakan berbagai ritual di Pura Subak, dan pada berbagai pura yang berkait dengan subak.
Petani (anggota subak) juga melaksanakan ritual pada lahan sawahnya masing-masing. Pada dasarnya, setiap petani akan melaksanakan kegiatan di lahan sawahnya, maka mereka selalu mendahuluinya dengan kegiatan ritual.
Sementara untuk aspek "pawongan" dengan menyusun peraturan subak (awig-awig) yang mengatur tentang apa-apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan oleh anggota subak, agar terjadi harmoni pada subak yang bersangkutan.
Aspek "palemahan" dengan membuat sawah sesuai dengan kontur lahan. Petani membuat sawah dengan tidak merusak kontur lahan tersebut, ujar Prof Windia. (WDY)
Pengakuan Unesco Terhadap WBD di Bali
Minggu, 26 April 2015 14:05 WIB