Bangli (Antara Bali) - Masyarakat di Kabupaten Bangli, Bali, memiliki tradisi pernikahan massal yang digelar setiap setahun sekali dan kali ini digelar di Desa Pengotan, Kamis.
"Tradisi ini tidak terikat kapan tanggal dan harinya karena yang dicari adalah hari baik yang telah disepakati masing-masing keluarga yang mengikuti upacara ini," kata jro bendesa atau tokoh Desa Pengotan Jro Wayan Kopok di sela-sela pelaksanaan upacara nikah massal.
Ia mengatakan, jika ada warga yang mengikuti upacara ini hamil di luar nikah mereka akan dikenai sanksi setiap bulannya dikenai denda sebesar Rp45 ribu.
"Sanksi itu dihitung dari berapa umur kehamilannya. Jika sudah tiga bulan berarti tiga kali atau tiga bulan dia harus membayar denda ini," ujarnya.
Ia menjelaskan, upacara yang sudah mentradisi itu digelar di Pura Bale Agung setempat. Untuk pelaksanaan kali ini diikuti oleh 28 pasang pengantin.
Setiap pasangan, kata Kopok, hanya dibebani biaya upacara sebesar Rp200 ribu. Biaya itu sangat murah daripada mengggelar upacara pernikahan sendiri-sendiri yang biayanya bisa ratusan kali lipat.
Dana itu, ujar Kopok, dipergunakan untuk membeli sapi jantan sebagai bahan upacara pokok pernikahan. Sapi itu dipersembahkan di Pura Bale Agung.
Tradisi itu, menurut dia, wajib dilaksanakan oleh masyakarat Desa Pengotan dan paling penting tidak boleh melakukan pernikahan sendiri-sendiri.
Mengenai runtutan upacaranya, kata dia, pagi harinya dilaksanakan musyawarah. Dalam musyawarah itu, para tokoh ataupun masyarakat setempat mendaftar nama-nama yang ikut upacara ini termasuk kesiapan yang sudah dilakukan masing-masing.
Setelah semuanya sudah dihitung, sapi dipotong dan ditaruh di bale Pura Bale Agung.
Kemudian pengantin dengan menggunakan pakaian adat Bali Kuno, khas Desa Pengotan, berjejer di sisi pura untuk melangsungkan upacara "byakala" atau pembersihan secara niskala (gaib).
Setelah semua pengantin diupacarai oleh Jero Dalang Jebut, pengantin baru masuk ke Pura Bale Agung untuk berkumpul di bale pertemuan yang oleh warga Pangotan disebut bale jejaitan. Yang pria duduk di sebelah selatan, sedangkan mempelai wanita di utara.
Pada saat berjejer itu, jelas Kopok, para pengantin berjejer dengan pakaian adat Bali Kuno asli dari Desa Pengotan. Pakaian pengantin itu jauh berbeda dengan adat pengantin saat ini yang serba dimodofikasi.
Ia mengatakan, seusai berjejer para pengantin melangsungkan prosesi "mepamit" atau mohon pamit di bangunan "semanggen" yang terletak di timur Bale Agung.
Setelah itu prosesi upacara di Bale Agung. Pada prosesi terakhir itu para pengantin wanita membawa "damar kurung" atau lampu minyak tanah kemudian diserahkan kepada dulu desa (pemuka adat).
Ia menjelaskan, setelah menyelesaikan tahapan upacara itu, para pengantin tidak diperbolehkan lagi keluar rumah selama tiga hari karena sedang puasa.
"Selanjutnya upacara terakhir, para peserta melaksanakan upacara 'tipat bantal' atau upacara pemberian 'banten' atau sesajen ke pihak perempuan," katanya.(*)