Denpasar (Antara Bali) - Iring-iringan umat Hindu mengusung "Pratima" yakni benda sakral yang disucikan disertai alunan instrumen gong blaganjur mewarnai kegiatan ritual Melasti serangkaian Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1937 yang digelar mulai Rabu pagi.
Sebagian besar desa adat (pekraman) di Kota Denpasar dan sekitarnya melaksanakan kegiatan Melasti itu ke Pantai Padanggalak, Sanur maupun Pantai Kuta, Kabupaten Badung.
Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali Prof Dr I Gusti Ngurah Sudiana MSi ketika dihubungi mengatakan, ikut ambil bagian berbaur dengan ribuan umat melaksanakan melasti di Pantai Padanggalak Sanur.
Demikian pula ribuan warga Desa Adat Denpasar sekitar pukul 05.30 Wita sudah berangkat ke Pantai Kuta untuk melaksanakan kegiatan serupa.
Untuk wilayah Desa Adat Denpasar, puluhan Pratime dari tiga tempat suci yakni Pura Desa, Puseh dan Dalem Selasa malam (17/3) telah dikumpulkan menjadi satu di Pura Pemecutan dan Rabu pagi bersama-sama disucikan ke Pantai Kuta.
Iring-iringan pretime tersebut dengan menggunakan angkutan kendaraan, menyusul warga dengan menggunakan sepeda motor dan mobil. Sedangkan sebagian warga lainnya di Denpasar timur yang melaksanakan melasti ke Pantai Padanggalak dengan berjalan kaki menempuh jarak sekitar sepuluh kilometer pergi -pulang (PP).
Benda yang disakralkan lewat ritual Melasti dibersihkan secara kasat mata. Kegiatan serupa juga dilaksanakan oleh 1.480 desa adat di Bali yang pelaksanaannya dapat dilakukan selama tiga hari antara Rabu (18/3) hingga Jumat (20/3) sesuai situasi, keadaan dan kondisi setempat (Desa, kala, patra).
Kegiatan ritual Melasti itu bermakna untuk membersihkan "pratime" atau benda-benda yang disucikan di Pura Desa Bale Agung, Puseh dan Pura Dalem di masing-masing desa adat di Pulau Dewata.
Ngurah Sudiana menjelaskan, ritual melasti oleh masing-masing desa adat itu dapat dilakukan ke laut bagi masyarakat yang bermukim di sepanjang pantai atau ke danau untuk masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan.
Sedangkan masyarakat yang bermukim di tengah-tengah, jauh dari gunung maupun laut dapat melaksanakan ritual ke sumber mata air terdekat di wilayah lingkungan desa adat tersebut.
Majelis tertinggi umat Hindu di Bali itu jauh sebelumnya telah mengeluarkan pedoman tentang pelaksanaan Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1937 yang jatuh pada hari hari Sabtu, 21 Maret 2015.
Pedoman tersebut merupakan hasil rapat pengurus harian dan anggota Forum Welaka (kelompok pemikir) PHDI Bali tentang perayaan Hari Suci Nyepi tahun baru saka 1937.
Masing-masing desa adat setelah melaksanak ritual Melasti, menyusul ritual "Bhatara Nyejer" di Pura Desa/Bale Agung di desa adat, dilanjutkan dengan "Tawur Kesanga" atau persembahan kurban pada hari Jumat (20/3), sehari menjelang Nyepi.
"Tawur Kesanga" itu dilakukan secara berjenjang di tingkat Provinsi Bali yang dipusatkan di Pura Besakih, kemudian tingkat kabupaten/kota, kecamatan, desa dan banjar hingga di rumah tangga masing-masing.
Kegiatan ritual tersebut bermakna meningkatkan hubungan yang serasi dan harmonis antara sesama umat manusia, lingkungan dan dengan Tuhan Yang Maha Esa (Tri Hita Karana).
"Tawur Kesanga" yang berakhir pada petang hari itu dilanjutkan dengan "Ngerupuk" yang bermakna mengusir roh jahat serta menetralkan semua kekuatan dan pengaruh negatif "bhutakala" yakni roh atau makluk yang tidak kelihatan secara kasat mata di lingkungan warga.
Keesokan harinya, Sabtu (21/3), umat Hindu merayakan Hari Suci Nyepi tahun baru saka 1937 dengan melaksanakan "Catur Brata" penyepian, yakni empat pantangan (larangan) yang wajib dilaksanakan dan dipatuhi umat Hindu.
Keempat larangan tersebut meliputi tidak melakukan kegiatan/bekerja (amati karya), tidak menyalakan lampu atau api (amati geni), tidak bepergian (amati lelungan) serta tidak mengadakan rekreasi, bersenang-senang atau hura-hura (amati lelanguan). (WDY)