Jakarta (Antara Bali) - Asosiasi Produsen Biodisel (Aprobi) menyatakan siap jika pemerintah mengembangkan biodisel 20 persen (B20) sebagai bahan bakar minyak (BBM) pada 2015.
Sekjen Aprobi Togar Sitanggang di Jakarta, Minggu, mengatakan pemerintah sedang melakukan ujicoba B20 di kendaraan bermotor sejauh 40 ribu kilometer selama Juli hingga September.
"Kalau (ujicoba) B20 ini berhasil maka pada 2015 bisa dipergunakan. Dan kalau Oktober nanti keluar rekomendasi (pemanfaatan B20) maka kita tak akan kaget kalau pemerintah keluarkan B20," katanya.
Sebelumnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan uji jalan pemanfaatan biodiesel 20 persen (B20) di kendaraan bermotor sejauh 40 ribu kilometer (Km) yang melibatkan enam unit kendaraan yang melintasi jalan dengan berbagai kondisi.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan uji jalan ini untuk mendapatkan rekomendasi teknis guna mendukung keberhasilan implementasi B20.
Jarak tempuh keenam kendaraan itu per harinya mencapai 500 Km.
Rute yang dilalui dari kantor Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Serpong - tol Jagorawi- Puncak- Cianjur- Padalarang-Cileunyi- Bandung-Lembang-Subang-Cikampek-Palimanan- Karawang-Cibitung-dan kembali ke Serpong.
Rute tersebut dipilih dengan mempertimbangkan kondisi riil jalan seperti jalan bebas hambatan, jalan dengan lapisan beton, jalan dengan medan menanjak maupun menurun, lalu lintas padat maupun kondisi jalan dengan suhu dingin seperti di daerah Puncak.
Biodiesel merupakan bahan bakar nabati (BBN) yang dicampurkan ke bahan bakar minyak (BBM). Campuran itu sebanyak 20 persen yang kemudian disebut dengan biodiesel 20 persen (B20).
Saat ini pencampuran BBN sebesar 10 persen dan rencananya penerapan B20 dilakukan pada 2016.
Pada kesempatan itu Togar mengatakan, secara umum harga biodiesel sekarang ini kurang kondusif bagi perusahaan biodiesel.
Penyebabnya, tambahnya, formula harga MOPS (Mean Oil Platt Singapore atau harga rerata transaksi bulanan minyak di pasar Singapura) solar maksimal yang dipakai Pertamina tidak memperhitungkan harga CPO yang menjadi bahan baku biodiesel.
Seperti sekarang ini, harga CPO sudah di kisaran 880 dolar AS per ton ditambah dengan biaya olah sebesar 150 dolar AS per ton sehingga total biaya pokok produksi mencapai 1.050 dolar AS per ton.
Itupun biaya transportasi masih ditanggung oleh produsen, tambahnya, sedangkan, harga MOPS solar sekitar 888,3 dolar AS per ton.
"Dengan harga ini jelas kami rugi karena CPO sebagai bahan baku, harganya sudah lebih tinggi dari MOPS solar. Selain itu, muncul ketidakpastian," kata Togar Sitanggang.
Oleh karena itu Aprobi meminta pemerintah supaya mengkaji ulang harga tender biodiesel.
Menurut dia, produsen tidak keberatan Pertamina memakai MOPS solar asalkan hanya ditujukan kepada biodiesel bersubsidi atau Public Service Obligation (PSO). (WDY)