Jakarta (Antara Bali) - Institusi riset bidang energi Reforminer Institute berpendapat hingga kini pemerintah Indonesia tidak memiliki cetak biru landasan pengembangan bahan bakar gas (BBG) di Indonesia.
"Karena program tidak jelas, maka pengembangan BBG di Indonesia tidak terarah dan tidak ada hasil yang berarti, bahkan terkesan asal-asalan," kata pengamat energi dari Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, pada diskusi Forum Kajian Energi dan Mineral Indonesia (Forkei) di Jakarta, Senin.
Pada lain pihak, kata dia, biaya subsidi energy yang terus meningkat membawa Indonesia pada kondisi krisis.
Bahkan yang lebih miris, katanya, di sejumlah negara lain di dunia, pengembangan BBG sangat berhasil diukur dari pertumbuhan yang tinggi jumlah kendaraan bermotor yang menggunakan BBG.
Sebaliknya di Indonesia jumlah kendaraan bermotor yang menggunakan BBG malah berkurang.
Misalnya di Iran, yang juga negara produsen minyak seperti Indonesia, jumlah kendaraan bermotor pengguna BBG pada 2000 sebanyak 800 unit, menjadi 3.000.000 unit pada 2012 alias tumbuh 31.242 persen!
Sementara di Indonesia jumlahnya justru menurun dari 3.000 unit pada 2000 menjadi cuma 300 pada 2012, berdasarkan data.
"Hal itu terjadi karena tidak ada cetak biru pengembangan BBG di Indonesia," katanya.
Negara lain yang sukses mengembangkan BBG antara lain Pakistan, Argentina, Brasil, China dan India.
Padahal pemakaian BBG sangat potensial menghemat APBN di bidang energi.
Misalnya,pada kondisi 2012, dengan harga premium dan solar Rp4.500 perliter dan volume premium 24,41 juta kiloliter dan solar 13,89 kiloliter, maka konversi premium ke CNG menghemat Rp144,01 triliun dan konversi solar ke CNG menghemat Rp81,95 triliun.
Jika digabung, kedua angka itu akan menghemat APBN hingga Rp225,96 triliun, angka yang fantastis karena pemakaian APBN untuk subsidi energi melewati Rp300 triliun pertahun.
"Hitung-hitungan itu sangat jelas dan mudah dipahami. Mengurangi beban subsidi, mengurangi beban APBN, dana penghematan bisa untuk membangun infrastruktur. Tetapi mengapa tidak dijalankan," kata dia.
Ia mengingatkan, progam konversi BBM ke BBG menghadapi kondisi lebih rumit dibandingkan kondisi minyak tanah ke gas, karena yang dihadapi industri otomotif dengan daya tawar tinggi dan luar biasa kuat.
Sementara itu, Direktur Indonesia Resources Studies (Iress), Marwan Batubara, mengusulkan Indonesia menyatakan kondisi darurat energi nasional.
Dengan tujuan agar semua komponen masyarakat dan pemerintah secara bersama-sama menghadapi masa depan pengadaan energi nasional yang semakin sulit. (WDY)
Indonesia Tak Miliki Cetak Biru Pengembangan BBG
Senin, 9 Juni 2014 19:18 WIB