Jakarta (Antara Bali) - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta
menolak permohonan nota keberatan Akil Mochtar, mantan ketua Mahkamah
Konstitusi yang menjadi terdakwa kasus suap dan tindak pidana pencucian
uang.
"Keberatan atau eksepsi terdakwa dan tim penasihat hukum terdakwa M
Akil Mochtar tidak dapat diterima dan menyatakan pengadilan Tipikor
Jakarta Pusat berwenang mengadili seluruh dakwaan," kata Ketua Majelis
Hakim Suwidya dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis.
Akil sebelumnya menyatakan keberatan terhadap surat dakwaannya yang
dianggap sebagai skenario untuk menjadikan dia sebagai penjahat, bahkan
sejak masih menjabat sebagai anggota DPR 1999-2004.
"Majelis hakim berpendapat yang diajukan terdakwa tidak cukup alasan
untuk dikabulkan, oleh karenanya eksepsi tidak dapat diterima, maka
pemeriksaan perkara ini dilanjutkan hingga tahap akhir," tegas Suwidya.
Akil juga mengaku keberatan dengan dugaan tindak pidana pencucian
uang (TPPU) yang didakwakan kepadanya, karena menilai jaksa KPK tidak
berwenang menuntut tindak pidana pencucian uang.
Dua anggota
majelis hakim, I Made Hendra dan Joko Subagio menyetujui keberatan Akil
mengenai tidak berwenangnya jaksa KPK menuntut tindak pidana pencucian
uang, karena menilai penuntut umum yang berwenang untuk melakukan
penuntutan kasus TPPU adalah jaksa yang berada di bawah jaksa agung atau
kepala kejaksaan tinggi.
"Sedangkan jaksa KPK tidak termasuk di bawah jaksa agung atau kepala
kejaksaan tinggi, sehingga wewenang penuntutan TPPU harus diserahkan ke
kejaksaan negeri setempat," kata Made Hendra.
Menurut Made Hendra, Undang-Undang No.8/2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tidak mengatur siapa yang
dimaksud dengan penuntut umum dalam perkara TPPU.
Dengan
demikian, ia melanjutkan, merujuk pada pasal 13 UU No.8/1981 tentang
Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa penuntut umum adalah jaksa yang
diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan adalah
yang berada di bawah Kejaksaan Agung.
KPK mendakwa Akil menerima uang Rp.63,315 miliar sebagai hadiah
terkait pengurusan sembilan sengketa pemilihan kepala daerah di Mahkamah
Konstitusi, sebanyak Rp10 miliar di antaranya dalam bentuk janji untuk
penanganan satu perkara sengketa pilkada.
Ia didakwa menerima
suap dalam penanganan perkara sengketa pilkada Kabupaten Gunung Mas,
Lebak, Empat Lawang, Lampung Selatan, Buton, Morotai, Tapanuli Tengah,
Banten, dan Kota Palembang serta janji terkait penanganan sengketa
pilkada Provinsi Jawa Timur.
Sementara dalam perkara pencucian
uang mantan politisi Partai Golkar itu didakwa menyamarkan harta Rp.161
miliar pada 2010-2013 dan harta Rp.22,21 miliar dari kekayaan periode
1999-2010. (WDY)
Hakim tolak nota keberatan Akil Mochtar
Kamis, 13 Maret 2014 20:50 WIB