"Perbedaan dalam menjalani ritual keagamaan, jangan dianggap sebagai sebuah kekurangan di satu tempat dan kelebihan di tempat lain."
Demikian kalimat yang terlontar dari Ketua Majelis Madya Desa Pakraman Kabupaten Buleleng Made Rimbawa. Ketua pengurus desa adat se-Buleleng itu meyakini bahwa perbedaan telah menjadikan kita kaya dan beragam.
Hal ini membuktikan bahwa "khilafiyah" atau perbedaan pendapat tidak saja terjadi di kalangan umat Islam, terutama dalam menentukan awal bulan dalam penanggalan Hijriah atau pun tata cara melakukan ibadah. Umat Hindu di Bali pun juga mengenal perbedaan dalam hal tatanan ritual, seperti Hari Raya Pagerwesi.
Hari Raya Pagerwesi yang diyakini umat Hindu di Bali sebagai hari baik untuk meningkatkan keteguhan iman dan memohon kepada Tuhan agar diberikan keselamatan ternyata dirayakan secara berbeda oleh masyarakat di Kabupaten Buleleng, Rabu (14/8).
Di Buleleng timur, mulai dari Desa Kalibukbuk, Kecamatan Buleleng hingga Desa Tejakula, masyarakatnya merayakan Pagerwesi secara meriah. Sementara di Buleleng barat, seperti Kalibukbuk, Banjar, Seririt, Gerokgak, hingga Busungbiu, dirayakan secara sederhana.
Hari raya yang diperingati setiap Buda (Rabu) Kliwon Shinta itu atau setiap 210 hari sekali dalam almanak Hindu itu satu rangkaian dengan Hari Raya Saraswati atau turunnya ilmu pengetahuan ke muka bumi ini.
Ketua Kelompok Pengkajian Budaya Bali Utara I Gusti Ketut Simba memaparkan, dari segi tradisi adat dan agama memang ada perbedaaan antara timur dan barat. "Wilayah Buleleng timur yang dikenal dengan sebutan `Dangin Enjung` dan barat atau `Dauh Enjung` sejak dulu punya kultur berbeda, meskipun tidak kentara," katanya.
Di wilayah timur, terutama Singaraja sebagai ibu kota Kabupaten Buleleng, masyarakatnya merayakan Pagerwesi secara besar-besaran. Mereka memotong hewan piaraan untuk "banten sodan" (sejenis sesajen yang dipersembahkan untuk orang yang telah meninggal dunia). Sementara umat di wilayah barat merayakannya dengan sangat sederhana dengan ritual "ngaturang canang sari".
"Hal ini tidak terlepas dari faktor sejarah bahwa Buleleng dulunya pintu masuknya budaya luar ke Bali. Sederhananya, Buleleng (pada zaman pemerintahan Hindia Belanda sebagai ibu kota Sunda Kecil yang meliputi Bali dan Lombok) sebagai wilayah transit budaya," tuturnya.
Oleh sebab itu, Buleleng sempat disinggahi berbagai ras masyarakat, seperti Timur Tengah, India, dan Tionghoa. "Invasi ajaran dan budaya itu masuk ke Buleleng sejak awal abad Masehi," katanya.
Khusus untuk penyebaran agama Hindu, menurut Ketut Simba, ajaran itu datang dari pedagang dan pengembang agama dari India. "Ajaran Hindu di sini mewarisi dua tradisi yang berbeda karena terdapat dua dinasti," katanya.
Dua dinasti yang masuk wilayah pesisir utara Bali itu salah satunya pendukung ajaran Siwa Pasupata dari Dinasti Sanjaya dan Sanaha di Jawa Tengah yang menguasai wilayah timur Kabupaten Buleleng. Ajaran itu kemudian dikembangkan Rsi Agastia hingga menyebar ke seantero Bali.
Dinasti kedua, Warman dengan sekte Buda Mahayana. "Ajaran ini ternyata bukan hanya berkembang di Buleleng barat, namun juga melebar ke selatan," katanya.
Dari barat ajaran ini meluas ke wilayah perbukitan sampai Tamblingan dan Candi Kuning (Tabanan) yang ditandai dengan adanya Pura Terate Mas. Kemudian ke timur menuju Pucak Mangu, pegunungan Batur (Bangli), hingga menuju "sumber kebenaran" di Besakih (Karangasem).
Di Besakih memang menyebar Buda Mahayana dengan adanya upacara yang tepat pada purnama kadasa (bulann kesepuluh). "Hari itulah yang disebut Waisak," kata Ketut Simba.
Ia menyatakan dengan tegas bahwa perbedaan tersebut tetap harus tetap harus terjaga kelestariannya. " Perbedaan itu sebuah kekayaan. Bhinneka adalah suatu khazanah kekayaan agama kita," ujarnya berfilosofi.
"Adat memang berbeda-beda sesuai desa `mawacara` dan desa kala patra. Karena perbedaan itulah yang membikin adat dan budaya Bali ini jadi lebih kaya," kata Made Rimbawa kembali mengingatkan mengenai pentingnya perbedaan. (M038)
Hindu Pun Mengenal Perbedaan
Rabu, 14 Agustus 2013 21:09 WIB