Denpasar (ANTARA) - Perhimpunan Indonesia Tionghoa (Inti) Bali melaksanakan dialog budaya yang membahas akulturasi Tionghoa dan Bali sebelum menggelar puncak Festival Imlek Bersama 2574.
Dialog budaya itu diisi pembicara utama Ketua Inti Bali Putu Agung Prianta dan Rektor ISI Denpasar Wayan Kun Adnyana serta diskusi budayawan I Made Sendra, Ida Ratu Shri Bhagawan Putra Natha Nawa Wangsa Pemayun dan I Nyoman Darma Putra.
Di Denpasar, Sabtu, Ida Ratu Shri menceritakan sejarah akulturasi Tionghoa dan Bali, salah satunya soal keberadaan prasasti Tabanendra yang melacak jejak keberadaan etnis Tionghoa di Bali.
"Salah satunya dibuktikan dengan kisah Dalem Balingkang dan Kang Xing Wei," sebutnya.
Dari sana kata dia, muncullah kebudayaan yang bersamaan dengan ditetapkannya akulturasi secara spiritual, budaya, politik, dan ekonomi, seperti penggunaan uang kepeng sebagai alat transaksi.
Bhagawanta Gubernur Bali itu berharap ke depan hubungan Tionghoa dan Bali tidak hanya tentang budaya, namun dapat turut bersama dalam membangun manusia Bali yang unggul.
"Semoga dialog ini bisa menjadi tauladan menyebarkan kesejukan di dunia ini. Terlebih terselenggaranya G20 agar Bali bisa menjadi contoh perdamaian dunia," ujarnya.
Sementara itu, I Made Sendra dalam dialog budaya memaparkan soal revitalisasi akulturasi budaya Tionghoa dan Bali, yang menurutnya tak terbatas pada urusan ekonomi atau perdagangan, namun juga tentang penaklukan.
Sendra mengatakan bahwa hal tersebut tercermin dari sejarah masa lampau yang terlihat pada miniatur stupa Ratnagiri Odisa India dan Pura Pagulingan di Gianyar Bali, serta Pagoda di China yang mirip dengan Meru di Pura-pura di Bali.
"Juga terkait sarana sembahyang di Bali yakni Kwangen, yang selalu berisikan uang kepeng. Dalam uang kepeng China sendiri terdapat sejumlah huruf China yang artinya harapan-harapan terbaik, seperti perdamaian, kebahagiaan dan ketenangan," tuturnya.
Budayawan sekaligus sejarawan Universitas Udayana itu melihat bahwa sejarah Bali dan China sudah berumur 2.000 tahun jika dilihat dari hubungan diplomatik budaya, sehingga memiliki kesamaan genetik budaya.
Di luar dialog budaya yang digelar di ISI Denpasar, Inti Bali menggelar sejumlah rangkaian Imlek, mulai dari Senin (23/1) lalu dan puncak festival pada hari Sabtu dan Minggu (29/1).
Secara kesusastraan, Dharma Putra melihat akulturasi yang dikemas dalam festival perdana ini patut diapresiasi.
"Festival ini bisa mengedukasi 60 tahun ke belakang, saya sangat terharu dengan festival ini. Ini bisa memberi manfaat, terutama budaya dan ekonomi," kata dia.
Lebih jauh, esensi perdamaian menurutnya sangat kental terasa melalui akulturasi Tionghoa dan Bali. Di mana keduanya memiliki kedekatan hingga pertukaran nilai spiritualitas dan religius, tapi tidak pernah ada konflik.