Buleleng (ANTARA) - Alunan merdu gamelan Bali mengiringi perjalanan menuju altar. Umat beramai-ramai mencari tempat duduk nyaman yang telah disediakan. Turis mancanegara pun memenuhi tempat duduk sekitaran altar.
Perpaduan budaya dan spiritualitas ini menjadi daya tarik tersendiri bagi umat yang merayakan Hari Tri Suci Waisak di Pulau Dewata, khususnya di Brahmavihara Arama yang berlokasi di Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Bali.
Alunan gamelan dipercaya mampu membangkitkan suasana meditatif dan kontemplasi, membantu umat Buddha untuk mencapai ketenangan dan fokus dalam beribadah. Gamelan melambangkan harmoni dan keseimbangan alam semesta, serta kesatuan antara jagat spiritual dan duniawi. Jenis gamelan yang digunakan dalam perayaan Waisak di Bali biasanya adalah gamelan selonding atau gamelan gong kebyar.
Gamelan selonding memiliki suara yang lebih lembut dan meditatif, sedangkan gamelan gong kebyar memiliki suara yang lebih meriah dan energik. Biasanya, panitia perayaan Tri Suci Waisak mengundang gamelan-gamelan dari luar desa untuk tampil di vihara.
Selain memiliki makna kuat dalam penggunaan gamelan, “desa, kala, dan patra” atau “tempat, waktu, dan keadaan” juga memengaruhi bagaimana gamelan bisa menjadi iringan musik dalam perayaan Tri Suci Waisak.
“Kami melaksanakan perayaan Waisak mengikuti desa, kala, patra yang ada. artinya kami menggunakan adat Bali dalam perayaannya” kata pemuka agama Buddha, Pandita Madya, Romo Ketut Rendah.
Penggunaan gamelan Bali dalam Waisak menunjukkan akulturasi budaya yang indah antara Buddha dan budaya lokal Bali. Gamelan tak hanya menjadi alat musik, namun juga simbol kearifan lokal yang dipadukan dengan nilai-nilai spiritualitas Buddha. Gamelan juga dimainkan untuk mengiringi prosesi pradaksina, yaitu mengelilingi stupa Buddha sambil memanjatkan doa.
Brahmavihara Arama, merupakan vihara tertua di Bali yang dibangun oleh paman Ratu Aji Rahula, Ida Ketut Jelantik, pada masa setelah kemerdekaan Indonesia dan menjadi simbol dari cikal bakal toleransi dan pluralisme di Pulau Bali.
Ida Ketut Jelantik merupakan sastrawan yang pernah bertugas di Kementerian Agama, menyukai meditasi, dan membentuk kelompok kebatinan di desanya. Pada tahun 1956, Ida Ketut Jelantik diundang ke Kota Semarang untuk menghadiri acara Buddha Jayanti yang merupakan acara kebatinan dan spiritual. Namun karena berhalangan hadir, ia diwakili oleh Ida Bagus Giri yang merupakan Ayahanda dari Ratu Aji Rahula, pengelola dari Brahmavihara Arama saat ini.
Pada awalnya, hanya tersedia 30 are luas lahan untuk membangun vihara di Banjar. Namun vihara terus berkembang hingga tahun 1971, vihara diresmikan dan memiliki luas sekitar 9 hektare, yang terdiri atas pagoda, darma sala, kuti, aula meditasi, lonceng, dan bangunan penduduk lain.
Seiring berkembangnya waktu dan sesuai warisan leluhur, Ratu Aji Rahula menjelaskan bahwa vihara ini bukan hanya menjadi tempat persembahyangan umat Buddha. Sebab pendirinya memberikan kebebasan kepada siapa pun yang ingin mencari kedamaian, ketenangan, dan mendapat pencerahan batin dapat menggunakan fasilitas yang ada di vihara. Jadi, tidak heran jikalau vihara ini selain menjadi tempat persembahyangan juga menjadi tempat wisata religi yang asik untuk dikunjungi.
Pradaksina dan akulturasi Buddha di Bali
Semerbak dupa memenuhi indra penciuman, alunan gamelan dan nyanyian rohani mendominasi. Upacara pradaksina telah dimulai. Umat berbondong-bondong mengikuti arak-arakan stupa, patung Buddha, dan murid-murid Buddha, kemudian mengelilingi vihara sebanyak tiga kali searah jarum jam dengan memegang sarana persembahyangan seperti bunga dan dupa sembari membaca paritta (ayat dalam kitab suci). Pradaksina merupakan wujud pemujaan terhadap Sang Buddha, Dharma, dan Sangha yang merupakan ajaran dari Sang Buddha.
Sarana yang digunakan dalam puja berupa pajengan merupakan sarana pelengkap, sedangkan sarana utama dalam puja terdiri dari dupa, bunga, lilin dan air suci. Bunga merupakan simbol ketidak-kekalan, lilin simbol penerangan, dupa simbol harumnya dharma, dan air sebagai simbol kesucian.
Pradaksina menjadi bentuk akulturasi budaya dengan agama Hindu berupa pembersihan terhadap area suci vihara sebelum dilaksanakan persembahyangan.
Akulturasi budaya nya juga terlihat dari penggunaan pakaian adat Bali (kebaya Bali) saat melakukan pradaksina, serta adanya doa-doa agama Hindu yang dibacakan bersama mantra Buddha. Selain itu, tari sekar jagat juga mengiringi hiburan selama perayaan Tri Suci Waisak dan menjadi salah satu bentuk akulturasi yang terus dijaga dengan baik. Setelah Pradaksina, upacara dilanjutkan dengan pembacaan Kitab Suci Damapada, puja, meditasi dan pembagian nasi yasa.
Nasi Yasa simbol bersyukur atas nikmat Tuhan
Persembahyangan selesai, umat diberikan waktu rahat (istirahat) sembari di bagikan nasi yasa. Nasi yasa merupakan nasi santapan khusus Brahmavihara Arama yang telah mengalami perubahan.
Awalnya, umat ketika awal -- sebelum puja dimulai -- akan menyantap makanan terlebih dahulu. Kini berubah dengan santapan makanan tersebut diupacarai atau diletakkan di altar lebih dulu barulah nanti setelah dilakukan puja akan dibagikan dan dimakan bersama-sama. Hal ini karena esensinya setelah diupacarai atau setelah melewati proses persembahyangan umat akan merasa lebih bersyukur akan karunia yang didapatkan.
Pada tahun 2024, atau berdasarkan 2568 Buddhis Era (BE), pengelola Brahmavihara Arama, Ratu Aji Rahula, menjelaskan bahwa ratusan umat Buddha dan wisatawan mancanegara hadir untuk memeriahkan perayaan Tri Suci Waisak. Panitia telah menyiapkan ratusan nasi yasa untuk pengunjung. Setelah nasi yasa dibagikan, akan dilanjutkan dengan doa-doa sebelum menyantap, yang dituntun oleh romo. Nasi yasa merupakan nasi sederhana dengan lauk pauk kering dan tidak cepat basi seperti kacang, saur (parutan kelapa goreng), dan lainnya.
Genta berdenting, nyaring. Tepat pukul 21.52 Wita, setelah pembagian nasi yasa usai, dilanjutkan dengan persiapan menuju detik-detik Waisak. Ini artinya rahat (istirahat) telah selesai dan umat kembali berkumpul di sekitaran altar, duduk nyaman di tempat yang telah disediakan. Pukul 21.52 Wita lewat 42 detik, suasana sunyi, romo memimpin untuk melakukan meditasi hingga pukul 22.30 Wita.
Sebelumnya, perayaan Tri Suci Waisak telah dipersiapkan sejak tanggal 19 Mei 2024. Mulai dari umat yang bergotong royong membersihkan areal vihara, memasang penjor, hingga umbul-umbul di depan pintu masuk vihara.
Umbul-umbul merupakan bendera beraneka warna yang dipasang memanjang ke atas dan meruncing pada ujungnya. Umbul-umbul menjadi prasarana yang melengkapi upacara adat di Bali. Adapun penjor merupakan batang bambu panjang tinggi dan melengkung dengan dihiasi janur (daun kelapa muda) yang dibentuk secara khusus, dihiasi hasil bumi, kain putih kuning, dan lainnya. Penjor merupakan simbol dari Naga Basuki yang memiliki arti kesejahteraan dan kemakmuran.
Editor: Achmad Zaenal M