Wakatobi, Sultra (Antara Bali) - Pemerintah Kabupaten Badung, Bali, tampaknya perlu belajar dari Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, mengenai upaya menjaga kebersihan dan kelestarian objek wisata bawah laut dengan menerapkan ketentuan adat.
"Kami salut dengan konsep kebersihan yang diterapkan Pemerintah Kabupaten Wakatobi dalam menjaga lingkungan sekitarnya, sehingga dalam menanggulangi sampah di daratan, masyarakat taat dengan aturan," kata Asisten III Bidang Pembangunan dan Ekonomi Setda Pemkab Badung Anak Agung Oka Darmawan di Wakatobi, Jumat.
Ia mengatakan masyarakat Wakatobi sangat taat dengan aturan pemerintah termasuk juga aturan adat setempat, sehingga menjaga lingkungan sekitar menjadi prioritas utama.
"Konsep-konsep seperti ini harus diterapkan di daerah lain, termasuk di Bali. Karena bila daratan mampu di jaga kebersihannya, maka air sungai yang mengalir ke juga akan bersih," kata Oka Darmawan yang didampingi Kabag Humas Badung Anak Agung Raka Yuda.
Oleh karena, kata dia, konsep-konsep terkait kebersihan dan pelestarian lingkungan di Wakatobi, kabupaten kepualaun tersebut, perlu diteladani masyarakat Bali dalam memberdayakan masyarakat pesisir sekaligus sebagai destinasi pariwisata dunia.
"Badung sendiri memiliki objek wisata bawah laut di daerah Nusa Dua. Bahkan pemkab bersama pemangku kepentingan sudah melakukan kerja sama dalam melestarikan terumbu karang di perairan Nusa Dua tersebut," ujar mantan Ketua DPD KNPI Bali itu.
Ia mengatakan untuk menambah keindahan objek wisata bawah laut di kawasan Nusa Dua, beberapa rumpon beton berbentuk patung tari kecak di tenggelamkan ke dasar laut.
"Tujuannya untukmenyediakan tempat tumbuh dan berkembangnya karang laut dan biota laut di sekitar rumpon tersebut. Kami yakin ke depannya bila karang laut sudah tumbuh bagus dan sempurna akan menjadi objek bawah laut lebih indah," katanya.
Sementara Kepala Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Badung Made Badra mengatakan potensi daerah pesisir di daerah tersebut cukup besar.
"Kami ke depannya juga mengembangkan pemberdayaan masyarakat pesisir yang selama ini belum digarap maksimal, seperti para nelayan di wilayah Desa Kutuh, Kecamatan Kuta Selatan," katanya.
Di wilayah ini belum digarap sepenuhnya, karena itu dengan semakin banyaknya penggunaan lahan di kawasan Pantai Pendawa, diharapkan masyarakat sekitar juga terangkat kehidupan perekonomiannya.
"Yang awalnya mengandalkan penangkapan ikan dan petani rumput laut, seiring perkembangan sektor pariwisata di kawasan itu nantinya mampu terangkat pendapatan perekonomian per kapitanya," kata Badra.
Begitu juga nelayan yang ada di Kelurahan Tanjung Benoa, selama ini masih banyak melaut, namun melaut pada siang hari melalui kelompok-kelompok nelayan untuk menambah penghasilan dari sektor pariwisata.
"Nelayan kita melayani pelancong yang kebetulan berlibur di Pulau Dewata. Mereka singgah di Tanjung Benoa untuk berwisata marina. Sehingga wisatawan yang ingin melihat lebih dekat laut di sana, mereka menyewa naik jukung (perahu tradisional)," katanya.
Dari penghasilan para nelayan itu, kata dia, diharapkan bisa meningkatkan pendapatan keluarganya.
"Saya melihat kelompok nelayan tradisional di Tanjung Benoa perannya dalam sektor pariwisata bersinergi dengan pengusaha pariwisata sekitarnya," kata Badra yang juga praktisi pariwisata itu.
Pelestarian Terumbu Karang
Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Wakatobi Abdul Manan mengatakan upaya pelestarian terumbu karang di wilayahnya dilakukan dengan menggencarkan sosialisasi kepada masyarakat setempat.
"Mata pencaharian masyarakat Wakatobi adalah sebagai besar nelayan, karena itu dalam menangkap ikan mereka harus mentaati aturan-aturan pemerintah dan aturan adat setempat," katanya.
Ia mengatakan masyarakat setempat sangat taat dengan aturan-aturan adat, seperti menangkap ikan tidak boleh menangkap induknya atau ikan yang masih kecil sekali.
"Kalau terjerat pancing atau jaring ikan yang belum layak ditangkap, maka para nelayan tersebut rela melepaskan. Termasuk juga bila para nelayan melihat sampah plastik atau lainnya wajib untuk memungut untuk dibawa ke daratan," ujarnya.
Abdul Manan mengatakan bahwa dalam pelestarian lingkungan sekitar, masyarakat Wakatobi melakukan gerakan bersama dengan menanam pohon, terutama pohon bakau.
"Tujuan penanaman pohon bakau tersebut adalah untuk pengamanan daratan dari gempuran ombak, dan terlebih penting lagi adalah untuk tempat berlindungnya biota laut," ucapnya.
Abdul Manan lebih lanjut menjelaskan bahwa kawasan Wakatobi adalah kawasan taman laut nanasional yang memiliki ratusan spesies karang laut, karena itu dijuluki sebagai "surganya" bawah laut bagi para petualang penyelam.
Ada empat pulau besar di kabupaten itu yakni Wangiwangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko (Wakatobi). Ibu kota kabupaten terletak di Wangi-wangi, luas wilayah daratnya mencapai 823 km persegi sedangkan wilayah perairan laut diperkirakan 18.377,31 kilometer.
Pada 2011, kabupaten yang dipimpin Bupati Hugua ini berpenduduk 94.846 jiwa.
Wakatobi juga merupakan nama kawasan Taman Nasional Laut dengan luas keseluruhan 1,39 juta hektare. Taman Nasional Wakatobi merupakan salah satu daerah konservasi laut di Indonesia dengan prioritas tertinggi, menyangkut keanekaragaman hayati laut, skala dan kondisi karang yang alami.
Keindahan alam bawah laut yang memiliki 25 buah gugusan terumbu karang, yang dapat dijumpai sekitar 112 jenis dari 13 famili yang terletak pada 25 titik di sepanjang 600 km garis pantai. Serta memiliki ragam spesies ikan sebanyak 93 jenis ikan konsumsi perdagangan dan ikan hias.
Taman Nasional Wakatobi telah dikenal di dunia sebagai salah satu tujuan wisata bahari. Banyak wisatawan asing dan juga domestik, datang untuk menyelam menikmati eksotisme kehidupan bawah laut Wakatobi. (LHS)
Aturan Adat Lindungi Wisata Bawah Laut
Jumat, 7 Juni 2013 12:24 WIB