Denpasar (ANTARA) -
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi Bali mencatat realisasi pembiayaan dari perusahaan pembiayaan di Pulau Dewata per April 2025 mencapai Rp12,14 triliun atau tumbuh 8,01 persen jika dibandingkan periode sama 2024 mencapai Rp11,24 triliun.
Kepala OJK Provinsi Bali Kristrianti Puji Rahayu di Denpasar, Jumat, menjelaskan meski realisasi nominal lebih tinggi, namun secara persentase pertumbuhannya lebih rendah dibandingkan periode sama 2024 yang saat itu tumbuh 18,03 persen.
Apabila mencermati posisi dua tahun sebelumnya yakni pada April 2023, realisasi perusahaan pembiayaan mencapai Rp9,52 triliun atau tumbuh melesat 55,5 persen, tumbuh signifikan dibandingkan posisi April 2022 yang saat itu mengalami kontraksi 14,72 persen setelah terdampak pandemi.
Ada pun pembiayaan pada posisi April 2025 didominasi oleh pembiayaan ke perdagangan besar dan eceran, reparasi dan perawatan mobil dan sepeda motor yang menguasai porsi mencapai 20,98 persen.
Baca juga: Investor saham di Bali tetap tumbuh di tengah ketidakpastian dunia
Kemudian, pembiayaan kepada aktivitas penyewaan dan sewa guna usaha tanpa hak opsi, ketenagakerjaan, agen perjalanan dan penunjang usaha lainnya dengan komposisi sebesar 13,82 persen.
Sedangkan tingkat pembiayaan bermasalah (non performing financing/NPF) per April 2025 meningkat menjadi 1,09 persen, dibandingkan posisi sama 2024 mencapai 0,99 persen.
Meski terjadi peningkatan NPF, namun pihaknya menilai realisasi itu masih tergolong rendah.
“Tingkat pembiayaan bermasalah relatif rendah dan terkendali,” ucapnya.
Realisasi pembiayaan dari perusahaan pembiayaan yang secara persentase pertumbuhannya masih melambat diperkirakan karena terpengaruh kondisi ekonomi global saat ini yang diwarnai ketidakpastian.
Baca juga: OJK ungkap nasabah di Bali gemar menabung
Di sisi lain, Kementerian Keuangan melalui Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Provinsi Bali juga mengindikasikan kondisi serupa terkait serapan kredit untuk sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang mengalami penurunan baik dari sisi debitur dan nominal.
DJPb menilai pelaku UMKM masih ragu-ragu untuk mengajukan pinjaman di tengah kondisi ekonomi yang belum stabil.