Denpasar (ANTARA) - Politeknik Pariwisata (Poltekpar) Bali membangun kolaborasi riset internasional bersama Griffith University Australia tentang tenun Bali.
Wakil Direktur I Poltekpar Bali I Gusti Agung Gede Witarsana di Denpasar, Kamis, mengatakan riset internasional ini mengambil tema Weaving Cultural Tourism’s Future: Enhancing Digital Capacity for Women Weavers.
Dalam sambutannya, Witarsana menekankan urgensi regenerasi penenun dan pentingnya inovasi agar produk tenun terus bertahan dan relevan dengan kebutuhan wisatawan masa kini.
“Tenun memiliki potensi besar untuk masuk dalam narasi wisata budaya nasional, dan penting bagi pemerintah daerah untuk memperkuat ekosistem usaha kecil dan menengah tenun,” kata dia.
Diskusi awal ini dijadikan langkah awal yang penting dalam agenda transformasi ini, sebab mempertemukan dua institusi unggulan yaitu Griffith University, universitas negeri terkemuka di Australia yang menduduki peringkat ke-4 dunia versi Times Higher Education Impact Rankings 2025, dan Politeknik Pariwisata Bali, kampus pariwisata peringkat pertama di Indonesia dalam bidang kepariwisataan versi SINTA.
Rapat semua pihak terkait ini menyoroti pentingnya rantai pasok antara penenun dan industri pariwisata, serta perlunya inovasi produk tenun agar lebih ringan dan mudah dibawa, sehingga bisa dikembangkan sebagai souvenir khas Bali.
Diskusi berlangsung dinamis dengan masukan dari pelaku usaha tenun, koperasi, pelaku industri pariwisata, dan perwakilan pemerintah (Dinas Pariwisata Kabupaten Klungkung dan Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Klungkung.
Project ini didukung oleh Australia-Indonesia Institute (AII) 2025 Grant dari Department of Foreign Affairs and Trade (Australia), dan berfokus pada pemberdayaan wanita melalui pendekatan pariwisata budaya yang edukatif, berkelanjutan, dan berbasis digital.
Wakil Direktur I Poltekpar Bali itu mengatakan, pariwisata Klungkung identik dengan Nusa Penida, sementara wilayah daratannya kerap terabaikan.
Padahal, potensi budaya seperti tenun endek dan songket justru bisa menjadi unique selling point serta penggerak baru bagi pariwisata Klungkung.
“Tenun bukan sekadar produk budaya, melainkan bisa diolah menjadi pengalaman wisata yang otentik dan memiliki nilai tambah,” ujarnya.
Pihak terkait dalam diskusi dipandu oleh Elaine Chiao Ling Yang dari Griffith University sebagai peneliti utama dan Putu Diah Sastri Pitanatri dari Politeknik Pariwisata Bali. Ruang diskusi menunjukkan antusiasme besar untuk mempromosikan kegiatan menenun sebagai bagian dari wisata edukatif dan pelestarian budaya.
Peserta diskusi menyatakan pentingnya mengembangkan model wisata edukatif berbasis komunitas yang selaras dengan nilai-nilai lokal.
Witarsana mengatakan seluruh rangkaian kegiatan ini akan dilanjutkan dengan pelatihan, pendampingan ekosistem penenun wanita, co-design paket wisata tenun, serta penyusunan rekomendasi kebijakan.
“Semua inisiatif ini diarahkan untuk memastikan bahwa tenun endek dan songket khas Klungkung memiliki value tak tergantikan—bukan hanya sebagai komoditas, tetapi sebagai living culture dan mampu bersaing ditingkat global,” kata dia.