Denpasar (ANTARA) - Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali Tjok Bagus Pemayun mengatakan pemerintah kabupaten/kota dapat memberikan insentif fiskal menyikapi keberatan pelaku usaha pariwisata mengenai kenaikan tarif pajak hiburan, termasuk pajak spa yang naik menjadi 40-75 persen.
Tjok Pemayun di Denpasar, Kamis, menyampaikan ruang bagi pemerintah kabupaten/kota untuk memberikan insentif fiskal tersebut terdapat dalam pasal 101 UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
"Dari hasil diskusi sebelumnya dengan teman-teman asosiasi pariwisata mereka menyatakan akan menyurati pemerintah kabupaten/kota se-Bali terkait hal tersebut. Mudah-mudahan teman-teman di kabupaten/kota dapat menyikapi," ujarnya.
Insentif fiskal yang dimaksud dalam Pasal 101 UU HKPD dapat berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan pokok pajak, pokok retribusi dan/atau sanksinya.
Baca juga: Pemkab Badung Bali segera rumuskan kebijakan pengurangan pajak hiburan
"Teman-teman yang tergabung dalam asosiasi spa juga sudah melakukan proses hukum berupa judicial review (uji materi). Berdasarkan hasil diskusi, pasal 101 tersebut juga didorong karena kalau judicial review itu tahapannya masih panjang. UU memang harus kita jalankan, tetapi masih ada ruang lewat pasal 101," ucapnya.
Menurut Tjok Pemayun, jika tarif batas minimal pajak 40 persen sesuai UU HKPD diterapkan, maka akan berdampak pada 963 usaha spa yang terdaftar di Provinsi Bali. Padahal spa merupakan salah industri yang mendukung pariwisata Bali.
"Padahal terapis spa kita benar-benar dicari karena memang ada unsur budaya dan berbasis kearifan lokal. Selain itu spa ala Bali memberikan efek yang luar biasa bagi kebugaran dan kesehatan," ujarnya
Wisatawan yang datang ke Bali, kata dia, tidak saja menikmati alam dan budaya Bali, tetapi juga menikmati spa ala Bali.
Baca juga: Gubernur Bali minta usaha spa ajukan insentif fiskal
"Kami mengapresiasi masukan-masukan yang disampaikan asosiasi tidak di luar koridor hukum sehingga suasana Bali tetap kondusif," katanya.
Direktur Lembaga Sertifikasi Profesi Pariwisata Akhyaruddin Yusuf mengatakan masuknya spa ke dalam kegiatan rekreasi dan hiburan umum sebelumnya diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009. Kemudian hal yang sama diatur dalam UU No. 1 Tahun 2022 tetapi untuk tarif pajaknya diatur menjadi 40-75 persen.
Namun, kata dia, sebelumnya tidak ada yang mempermasalahkan spa masuk dalam kegiatan rekreasi dan hiburan umum dan baru geger setelah terbitnya Peraturan Bupati Badung yang berlaku mulai Januari 2024 sebagai tindak lanjut pelaksanaan UU HKPD terkait pengenaan tarif pajak hiburan, termasuk spa minimal 40 persen.
"Spa ini identik dengan kesehatan dan kebugaran serta berbasis kearifan lokal di Nusantara, di antaranya di Bali menggunakan boreh. Ini murni kesehatan dan kebugaran, cuma bahasa agar lebih mudah dimengerti secara internasional maka disebut spa," ucapnya.
Terkait pihak yang bisa mengeluarkan insentif pajak hiburan ini, kata dia, tentunya pemerintah kabupaten/kota. Jika tarif pajak spa yang baru tetap diberlakukan sesuai UU HKPD maka sudah tentu akan banyak usaha spa di Bali yang tutup.
Ketua Association of Hospitality Leaders Indonesia Ketut Swabawa mengatakan dengan keberadaan spa dapat memperpanjang lama tinggal wisatawan di Bali karena memang spa di Bali berbeda dengan yang lainnya, apalagi ada tambahan yoga dan meditasi. Bahkan banyak menyerap tenaga kerja lokal.
"Kami harap kenaikan ini ditunda, dan dilakukan judicial review. Ada kesalahan definisi jika spa dimasukkan dalam kategori rekreasi dan hiburan umum. Oleh karena itu perlu dilakukan revisi agar tidak seterusnya begitu," ucapnya.
Perwakilan Bali Hotel Association John TG Nielsen mengatakan dengan adanya kenaikan pajak, pihaknya khawatir hal ini akan berdampak negatif terhadap perputaran ekonomi.
Bahkan, berpotensi terjadi pengurangan tenaga kerja akibat harga pelayanan menjadi mahal karena kenaikan tarif pajak yang pada akhirnya berimbas kepada perekonomian masyarakat Bali.