Denpasar (ANTARA) - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali menyiapkan forum diskusi untuk membahas kenaikan pajak spa dari 15 persen menjadi 40 persen, dengan menghadirkan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno untuk menguatkan alasan agar aturan tersebut tidak diberlakukan.
Ketua PHRI Bali Tjok Oka Artha Ardhana Sukawati di Denpasar, Rabu, mengatakan diskusi ini bertujuan untuk melahirkan kajian bahwa usaha spa atau yang menjadi khas di Pulau Dewata adalah Balinese Spa tidak tepat masuk dalam kategori hiburan dalam Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PJBT) yang saat ini diatur menjadi paling rendah 40 persen.
“Nanti kami akan adakan forum diskusi yang melibatkan perguruan tinggi, pakar hukum ketatanegaraan, kemudian yang paham spa, pelaku usaha, kami juga akan ketemu Pj Gubernur dan Menteri Pariwisata,” kata dia.
Tjok Ace, sapaannya, menyampaikan dalam diskusi akan lahir kajian yang dapat mereka bawa ke Mahkamah Konstitusi agar dilakukan judicial review, lantaran aturan kenaikan PBJT sudah tercantum dalam pasal 58 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 sehingga jika tidak direvisi maka spa/mandi uap wajib menaati pajak 40 persen tersebut.
“Ini kenaikan luar biasa. Dimasukkan usaha hiburan, apakah kami harus mengubah nama spa di Bali jadi pengobatan tradisional itu tidak mudah juga. Kami pikir harus diluruskan, spa di Bali bukan hiburan, kami siapkan grup diskusi undang Menparekraf karena memang tidak dimasukkan sebagai usaha hiburan,” ujarnya.
PHRI Bali sebagai asosiasi yang menaungi Bali Spa Wellness Association sendiri merasa tidak pernah dilibatkan dalam pembentukan aturan ini, sehingga mereka merasa terkejut karena selama ini spa masuk dalam kategori kesehatan.
Alasan Balinese spa tepat masuk dalam kategori kesehatan karena di Bali usaha spa menggunakan potensi daerah sebagai bahan pelengkap seperti lulur dan boreh yang berasal dari catatan sejarah di atas lontar.
Menurut Ketua PHRI Bali jika tetap dijalankan ini akan berdampak pada industri pariwisata yang mulai bangkit, terutama spa yang sedang membangun citra di mata internasional.
“Andai kata ini dimasukkan hiburan jadi merasa risih, padahal spa ini kesehatan bukan hiburan, membentuk stigma nanti kasihan adik-adik kita yang bekerja sebagai terapis,” kata Wakil Gubernur Bali periode 2018-2023 itu.