Denpasar (ANTARA) - Saat matahari mulai meninggi dan air laut mulai surut, tandanya Ketut Lodra, nelayan di Desa Pemogan, Denpasar, Bali, kembali ke daratan.
Dengan menaiki perahu kano, tangan kanan dan kirinya tampak luwes mendayung, sedangkan badannya berusaha mempertahankan keseimbangan.
Siang itu, ia kembali ke tepi membawa dua karung "hasil tangkapan", setelah berkutat menyusuri hutan mangrove di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai, Denpasar.
Namun, karung tersebut bukanlah berisi ikan, melainkan sampah hasil pungutan dari dalam hutan yang terjebak di akar-akar pohon mangrove.
Total untuk shift pertama pemungutan ada 15 karung yang dikumpulkan bersama sejumlah nelayan tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama (KUB) Segara Guna Batu Lumbang, Desa Pemogan, Denpasar.
“Sebagian besar isinya sampah plastik,” kata nelayan berusia 53 tahun itu kepada ANTARA.
Nantinya, sampah yang terkumpul tersebut dipilah sesuai jenis yang ditemukan, di antaranya botol minuman kemasan, kaleng, botol kaca, plastik kemasan, sandal jepit, sepatu, hingga potongan matras.
Sampah plastik tersebut kebanyakan terbawa arus sungai, yakni dari Tukad (sungai) Badung dan Tukad Mati yang mengapit hutan mangrove itu, sebelum bermuara di Teluk Benoa, Denpasar.
Sementara itu, sore hari saat air laut kembali pasang, para nelayan itu akan kembali melakoni shift kedua ke tengah hutan bakau memungut sampah karena air yang pasang memudahkan proses pembersihan.
Tak hanya itu, penggunaan kano juga memudahkan pergerakan di dalam hutan mangrove yang memiliki tingkat kerapatan tinggi.
Baca juga: BPSPL Denpasar ajak masyarakat pungut plastik di mangrove antisipasi kemarau
Luas ekosistem mangrove di Taman Hutan Raya Ngurah Rai merupakan yang paling besar di Bali, mencapai 1.373,5 hektare dari total luas mangrove di Pulau Dewata mencapai 1.894 hektare, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Desember 2021.
Sisanya tersebar di Bali bagian barat, Kabupaten Buleleng, Kabupaten Jembrana, dan Nusa Lembongan di Kabupaten Klungkung.
Meski begitu, luas ekosistem mangrove di Bali adalah yang terkecil di Indonesia, dengan total luas nasional mencapai 3,63 juta hektare.
Tiga ton sampah plastik
Pemungutan sampah dari mangrove tersebut dilakukan sukarela oleh para nelayan, namun belum dikelola dengan optimal.
Menurut Ketua KUB Segara Guna Batu Lumbang I Wayan Kona Antara, awalnya sampah hasil pemungutan hanya dibuang di kontainer yang disiapkan Dinas Lingkungan Hidup Kota Denpasar.
Hingga akhirnya ia menyadari, sampah, terutama dari bahan plastik tersebut, memiliki nilai tambah apabila didaur ulang.
Kelompok usaha bersama yang memiliki 52 anggota itu pun menjalin kerja sama dengan salah satu lembaga nonprofit yang getol dalam menyuarakan lingkungan.
Lembaga swadaya masyarakat (LSM) itu sejak 2022 membeli sampah plastik, terutama yang sudah dipilah dan dipilih, dengan nilai tertentu untuk masing-masing jenis plastik.
Sampah plastik, di antaranya Polietilena tereftalat (PET) atau botol plastik bening, misalnya, dihargai Rp3.350 per kilogram, tutup PET sebesar Rp2.800 per kilogram, tutup galon Rp2.500 per kilogram.
Kemudian kresek campur Rp500 per kilogram, kemasan sachet Rp400 per kilogram, hingga yang paling tinggi kaleng aluminium mencapai Rp10.500 per kilogram.
Tawaran tersebut pun menggiurkan bagi masyarakat, termasuk nelayan, apalagi kelompok usaha tersebut mendapatkan insentif.
Sebanyak 16 nelayan setiap hari aktif memungut sampah itu mendapatkan insentif sebesar Rp800 ribu per bulan dari LSM tersebut, sehingga menambah semangat mereka untuk membersihkan mangrove dari sampah.
Rata-rata pemasukan dari sampah plastik per bulan mencapai sekitar Rp250 ribu, sehingga per orang nelayan itu dapat mengantongi penghasilan tambahan rata-rata sekitar Rp1.050.000 per bulan, hasil dari Rp800 ribu ditambah Rp250 ribu.
Rata-rata per minggu, sekitar tiga ton sampah plastik berhasil dikeluarkan dari dalam hutan mangrove oleh nelayan KUB Segara Guna Batu Lumbang yang cakupannya diperluas hingga bakau di kawasan Benoa dan Tuban di Kabupaten Badung.
Benefit berkelanjutan
Membersihkan hutan mangrove dari sampah plastik memberikan dampak yang signifikan, baik bagi kelangsungan hidup nelayan, solusi penahan abrasi, hingga menjaga kualitas udara perkotaan.
Kona Antara menjelaskan timbunan sampah, termasuk plastik, mempengaruhi hasil tangkapan kepiting bakau sebagai salah satu komoditas unggulan yang didapatkan para nelayan.
Sebelumnya, tangkapan kepiting nelayan nyaris nihil karena benih kepiting banyak terjebak sampah plastik, sehingga cepat mati.
Baca juga: KKP minta nelayan pungut sampah plastik di laut
Meski tangkapan kepiting tergantung pasang surut air laut, namun ia mengungkapkan volume sampah plastik yang bisa ditekan berkontribusi terhadap produksi tangkapan, di antaranya kepiting.
Rata-rata per hari tangkapan kepiting kelompok tersebut mencapai 2,5 kilogram.
Paling banyak kepiting bakau itu diserap pedagang pasar ikan dan pelaku usaha restoran di kawasan Jimbaran, Kabupaten Badung.
Tak berhenti sampai di sana, kawasan mangrove yang terbebas dari sampah juga tentunya menambah estetika dan daya tarik bagi wisata alam.
Saat ini, KUB tersebut mengembangkan ekowisata mangrove yang dapat diakses melalui Waduk Muara Nusa Dua di Jalan By Pass Ngurah Rai, Denpasar.
Ekowisata itu dimulai sejak pertengahan 2022, di antaranya menikmati wisata kano menyusuri mangrove dan wisata memancing.
Berkurangnya sampah plastik juga berperan mendukung kehidupan hutan yang berperan sebagai paru-paru dunia itu.
Data di Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar menunjukkan berkurangnya timbunan sampah plastik dapat memperlancar pasokan air laut bagi bakau, sekaligus memudahkan fungsinya sebagai penangkap sedimen.
Pasalnya, mangrove tidak bisa lepas dari suplai air laut atau payau, sehingga jika banyak sampah plastik dapat mengganggu pertumbuhan bakau hingga mempercepat pohon dengan nama ilmiah Rhizophora itu mati.
Upaya bersama
Penerapan ekonomi sirkular itu dapat menjadi solusi mengatasi sampah plastik yang ditemukan di hutan mangrove dan cara itu lebih optimal berjalan karena didukung stimulus dari tangan-tangan yang peduli.
Meski begitu, perlu upaya bersama untuk mencegah agar jangan sampai sampah plastik itu dibuang sembarangan dan mencemari lingkungan.
Pemerintah Provinsi Bali menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 97 tahun 2018 tentang pembatasan timbulan sampah plastik sekali pakai.
Sehingga penggunaan kantong plastik sekali pakai, sedotan plastik dan styrofoam sudah dilarang sejak 1 Juli 2019 di Bali.
Kemudian Peraturan Gubernur Nomor 47 tahun 2019 tentang pengelolaan sampah berbasis sumber.
Dalam regulasi itu diatur sanksi administratif kepada produsen dan distributor yang tak melakukan pengelolaan sampah.
Bahkan peraturan itu mengatur sanksi adat kepada warga yang melanggar lingkungan menyesuaikan dengan hukum adat atau awig-awig masing-masing wilayah desa adat.
Yang tak kalah penting adalah kesadaran dan peran serta masyarakat untuk ikut menjaga lingkungan dengan tidak membuang sampah sembarangan di aliran sungai.