Kuta, Bali (ANTARA) - Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menegaskan kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota untuk mencegah praktik ilegal, tidak diatur, dan tidak terlaporkan (illegal unreported and unregulated fishing/IUU fishing).
"Nelayan berkewajiban melakukan pembongkaran hasil tangkapan di pelabuhan perikanan yang telah ditetapkan dan wajib dilaporkan secara transparan secara mandiri," katanya pada pertemuan FAO Agreement on Port State Measures (PSMA) di Kuta, Bali, Senin.
Adapun PSMA adalah ketentuan yang dibuat pemerintah terhadap kapal perikanan berbendera asing yang akan masuk dan atau menggunakan fasilitas pelabuhan perikanan yang ditunjuk untuk mencegah hingga memberantas praktik IUU fishing.
Ia mengatakan potensi populasi perikanan Indonesia mencapai sekitar 12 juta ton per tahun.
Dari jumlah itu, kuota yang per tahun yang diizinkan untuk ditangkap mencapai 80 persen untuk menjaga keberlanjutan ikan di Tanah Air.
Kebijakan itu rencananya diterapkan dalam dua hingga tiga bulan, menunggu peraturan turunan dalam bentuk Peraturan Menteri KKP rampung.
Melalui kebijakan penangkapan ikan terukur, kegiatan penangkapan ikan di laut Indonesia diatur dalam sistem kuota dan zonasi untuk menghindari jumlah tangkapan berlebih.
Implementasi kebijakan itu juga didukung infrastruktur teknologi satelit serta patroli langsung oleh kapal pengawas di laut dan pesawat pemantauan udara guna memastikan sistem yang diterapkan berjalan optimal.
Pemerintah telah menetapkan enam zonasi wilayah pengelolaan perikanan (WPP) atau pelabuhan perikanan di Tanah Air.
Nantinya, kapal penangkap harus mendaratkan hasil tangkapannya di pelabuhan perikanan yang sudah ditentukan di sekitar lokasi operasi, tidak lagi dibawa ke Pulau Jawa yang selama ini menjadi pusat ekonomi Indonesia.
Selama ini, ada empat pelabuhan perikanan sebagai lokasi bersandarnya kapal perikanan dan kapal pengangkut ikan berbendera asing.
Empat pelabuhan itu yakni Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman di DKI Jakarta, PPS Bitung di Sulawesi Utara, PPS Bungus di Sumatera Barat dan Pelabuhan Umum Benoa di Bali.
Sementara itu, Direktur Jenderal Organisasi PBB Bidang Pangan (FAO) Qu Dongyu mengungkapkan PSMA dapat mendukung transformasi perikanan berkelanjutan di seluruh dunia.
Sampai saat ini, terdapat 101 negara yang mengikuti PSMA atau ketentuan negara pelabuhan, dan merupakan salah satu dari tiga instrumen perikanan internasional yang paling mengikat.
"Upaya kolektif kami akan membentuk masa depan perikanan global, masa depan yang biru dan lebih sehat dengan produksi yang lebih baik, nutrisi yang lebih baik, lingkungan yang lebih baik, dan kehidupan yang lebih baik untuk semua," ujarnya dalam tayangan video.
Sementara itu, Perwakilan FAO untuk Indonesia dan Timor Leste Rajendra Kumar Aryal yang ikut membuka pertemuan berharap semakin banyak negara yang meratifikasi perjanjian PSMA, seperti Indonesia yang sudah meratifikasi pada 2016.
"Harapannya, dari pertemuan ini bisa membawa lebih banyak lagi negara yang bergabung berada di perahu yang sama," katanya.
Di sisi lain pertemuan PSMA di Bali membahas sejumlah isu penting di antaranya status perjanjian FAO 2009 tentang Tindakan Negara Pelabuhan (PSMA) serta strategi meningkatkan efektivitas PSMA melalui pertukaran data dan informasi perikanan masing negara peserta dalam mempersempit ruang gerak IUU fishing.