Tim kuasa hukum Rektorat Universitas Udayana Bali mengklaim ada kesalahan teknis saat penginputan data dana sumbangan pengembangan institusi (SPI) yang kini dihitung sebagai kerugian negara oleh penyidik Kejaksaan Tinggi Bali sehingga bukan merupakan pungutan liar.
Ketua Tim hukum Universitas Udayana Nyoman Sukandia di Jimbaran, Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, Kamis mengatakan temuan tersebut muncul setelah ada perintah dari Deputi Menkopolhukam untuk mengecek angka kerugian Rp3,9 miliar seperti yang diungkapkan oleh penyidik Kejaksaan Tinggi Bali.
Dia mengatakan setelah dilakukan pengecekan, Unud mendapati jumlah dana yang termasuk dalam kategori kesalahan administratif adalah Rp1,8 miliar.
Angka tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan angka kerugian negara yang dibeberkan oleh penyidik Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Bali yang menyatakan Rektor Universitas Udayana Prof I Nyoman Gde Antara dan tiga tersangka lainnya diduga merugikan negara sebesar Rp105,39 miliar dan Rp3,94 miliar ditambah juga merugikan perekonomian negara hingga mencapai Rp334,57 miliar.
"Setelah dicek dan ricek, ternyata kesalahan pertama adalah pada sistem, ada mekanisme yang dijalankan pada tahun lalu dicopy, kemudian lupa mendelete, kalau manual itu barangkali ditipex, sehingga langsung diaktivasi (di sistem). Semisal mencentang angka Rp8 juta, tetapi di sistem Rp10 juta," kata Sukandia.
Dia mengatakan hal berikutnya yang menyebabkan adanya selisih antara dana yang dihitung oleh auditor Kejati Bali dengan hasil audit Universitas Udayana adalah adanya jumlah uang yang disumbangkan oleh mahasiswa baru kategori SPI 0 setelah mengisi formulir pendaftaran pada sistem yang ada.
Dalam pengalaman di Universitas Udayana, kata Sukandia, banyak orang tua yang menyumbang sejumlah uang setelah mendengar atau mengetahui ada orang tua lain yang menyumbang lebih besar.
Sukandia menyatakan uang yang masuk ditransfer langsung oleh orang tua kepada universitas melalui rekening Universitas Udayana yang kemudian diawasi oleh lima auditor yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Inspektorat Jenderal dari Kementerian, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Bali, Satuan Pengawas Internal (SPI) Universitas Udayana dan Kantor Akuntan Publik.
Sukandia mengatakan faktor kemampuan tenaga IT di Universitas Udayana juga menjadi faktor yang menyebabkan adanya kesalahan dalam menginput data sumbangan pengembangan institusi.
"Yang namanya alih teknologi, tadinya pakai mesin ketik sekarang dengan sistem (komputerisasi) memang dibutuhkan tenaga-tenaga yang memang pas di bidangnya. Bisa saja salah," kata dia.
Sukandia selaku Ketua Tim Hukum Universitas Udayana pun siap mengembalikan dana pengembangan institusi kepada mahasiswa Universitas Udayana yang ingin mengajukan permohonan pengembalian dana SPI dengan catatan Universitas Udayana harus dianggap sebagai 'negara' dalam pengertian hukum administrasi negara dimana negara tidak boleh memaksa rakyatnya seperti zaman KUHP dulu.
"Uang ini masih jongkok, masih ada di kas negara, tidak mengalir ke mana-mana. Setiap saat kami rela dengan senang hati, dengan ikhlas demi keadilan, kami akan kembalikan kalau ada klaim mengajukan permohonan," kata dia.
Sukandia juga mengatakan selama ini, tidak ada keberatan dari mahasiswa dan orang tua terkait pungutan sumbangan pengembangan institusi di Universitas Udayana. Bahkan dengan sistem pemberlakuan SPI, negara diuntungkan dari SPI yang masuk sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Oleh karena itu, kata Sukandia, akumulasi dana yang ada di dalam rekening negara tersebut dikelola secara akuntabel dan transparan untuk seluruh kebutuhan Unud, termasuk fasilitas sarana dan prasarana.
"Unud senantiasa akuntabel dan transparan dalam pengelolaan keuangan negara, termasuk dana SPI yang masuk dalam rekening negara," kata dia dihadapan puluhan awak media di Gedung Rektorat Universitas Udayana, Bali.