Oleh I Ketut Sutika
Sosok pria sederhana itu memiliki suara merdu dalam mengumandangkan ayat-ayat suci agama Hindu, berupa kekawin, kekidung dan jenis tembang lagu daerah Bali lainnya.
Banyak warga yang berguru kepadanya, sehingga mempunyai andil dalam mengembangkan dan melestarikan seni budaya Bali. Itulah sosok Anak Agung Gede Oka (86) pria kelahiran Banjar Jaya Maruti, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.
Pria yang akrab disapa Gung Aji Oka itu memiliki kecintaan dan kepedulian terhadap pelestarian warisan seni budaya bangsa yang merupakan puncak dari seni-seni budaya daerah.
Kesenangannya sejak kecil itu dijadikan tuntunan, yang mampu memberikan ketenangan batin, sekaligus melengkapi kegiatan ritual yang digelar masyarakat dalam lingkungan desa adat maupun di pura.
Suami dari Jero Soka itu memiliki semboyan, "Jangan sampai kehilangan jati diri, agar dasar budaya Bali tidak luntur", yang ditularkan kepada warga masyarakat yang tertarik menekuni kegiatan mewirama.
Ayah dari dua putra masing-masing AA Putu Giri Widasna dan Ir AA Gede Dharma Yadnya itu itu memang sejak usia 14 tahun menekuni seni sastra, antara lain Macepatan/Sekar Alit, Sekar Madya dan "Sekar Ageng".
Mengumandangkan ayat-ayat suci agama Hindu baik berupa kekawin, kekidung dan jenis mengumandangkan lagu daerah Bali lainnya merupakan bagian dari kesenangan yang dilakoninya.
Pria yang pernah bekerja sebagai juru masak pada sebuah hotel di Kintamani itu tidak bisa lepas dari seni sastra daerah. Kalau ada karya besar atau piodalan di Pura atau masyarakat yang melaksanakan kegiatan ritual alunan suara Gung Aji Oka menjadi ciri khas yang dikumandangkan lewat pengeras suara.
Hal itu digeluti pria yang juga anggota veteran itu sebagai wujud bakti atas kecintaan dan kepedulian terhadap warisan seni budaya bangsa, yang bersumber dari puncak seni-seni budaya daerah.
Pria yang tampak segar bugar pada usia senjanya itu tidak henti-hentinya belajar mendalami sastra agama yang sanggup memberikan tuntunan, kesenangan dan ketenangan batin.
Masyarakat sekitarnya juga terangsang untuk belajar mekawin dan mekidung, mengikuti jejak Gung Aji Oka yang pernah mengabdikan dirinya sebagai kelian banjar Jaya Maruti, Bangli itu.
Setelah itu mengabdikan diri menjadi Bendesa Adat Jaya Maruti selama sebelas tahun periode 1969-1980. Menjadi LKMD tahun 1980-1984. Aktif dalam aktivitas sosial kemasyarakatan hingga kini bergelut dalam sastra daerah Bali.
Penghargaan
Berkat dedikasi, pengabdian dan prestasi dalam mengembangkan seni budaya Bali, Anak Agung Oka pernah mendapat penghargaan pengabdi seni dari Pemerintah Provinsi Bali terkait pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB) XXIV tahun 2002.
Ia kini aktif melatih dan membina generasi muda untuk menekuni seni sastra, dengan harapan gending-gending Bali tetap lestari di tengah impitan pengaruh budaya asing di tengah perkembangan sektor pariwisata Bali yang pesat.
Proses pendidikan non formal itu mampu memudahkan bagi generasi muda dalam mempelajari pembacaan ayat-ayat suci agama Hindu serta mendalami parwa dan jenis pustaka lainnya dalam bentuk sloka dan Palawakya.
Semua itu berkat bimbingan dan kerja keras dari Gung Aji Oka untuk melestarikan seni budaya Bali kepada anak-anak muda. Meskipun berasal dari keluarga sederhana dari segi finansial, namun sangat getol mempelajari dan menekuni sastra daerah Bali, khususnya kesusastraan Bali klasik.
Belajar dari sejumlah lontar yang diwarisi dari leluhurnya mampu menularkan kepada masyarakat llingkungannya, di samping aktif dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan.
Meskipun usianya semakin "senja", namun kreativitas, khususnya dalam bidang seni sastra, justru semakin mantap dan menambah tekadnya untuk lebih memberikan perhatian khusus terhadap pelestarian dan pengembangan sastra daerah Bali.
Semua itu, diharapkan dapat diwariskan kepada generasi mendatang, dengan harapan seni budaya Bali tetap kokoh dan berkembang di tengah pesatnya sektor pariwisata.(*/T007)
Anak Agung Gde Oka Geluti Seni Sastra
Senin, 27 Agustus 2012 19:42 WIB