"Jika masing-masing orang memberikan pernyataan mengenai COVID-19, yang terjadi adalah adanya infodemik atau banyaknya informasi yang beredar. Sehingga masyarakat menjadi bingung," kata Tirta dalam webinar Hasil Survei Nasional 2022 bertajuk "Anak Muda dan COVID-19: Berbhineka Kita Teguh, Ber-Hoax Kita Runtuh" yang diikuti di Jakarta, Rabu.
Belajar dari pengalaman Senin (3/1) lalu, di mana masyarakat dihebohkan dengan adanya Florona yang dianggap sebagai varian baru dari COVID-19, Tirta menjelaskan hal tersebut merupakan dampak dari banyaknya informasi dari media yang tidak sinkron dalam memberitakan suatu isu.
Pada Florona, banyak pihak menyiarkan varian itu merupakan gabungan dari COVID-19 dengan influenza. Sama seperti Delmicron yang sebelumnya dikatakan merupakan varian yang berasal dari gabungan Delta dan Omicron. Padahal, nama varian itu hanya berasal dari segelintir orang yang mengunggahnya ke media sosial.
Baca juga: Survei UIN: 31,5 persen siswa masih percaya hoaks COVID-19
Sama halnya dengan kebijakan karantina yang terus mendebatkan penetapan jumlah hari pada pelaku perjalanan. Meskipun kebijakan yang dibuat berdasarkan pada kondisi terkini, namun informasi yang berubah-ubah justru membingungkan.
Menurut Tirta, terlalu banyak pihak yang memberikan pernyataan akan COVID-19 justru membuat masyarakat bingung dalam menyaring mana berita yang akurat atau hoaks. Akibatnya, masyarakat lebih memilih untuk mempercayai informasi yang beredar pada grup Whatsapp maupun Instagram.
Dalam hal ini, tidak hanya pengguna media sosial tetapi juga kementerian terkait seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Komunikasi dan Informatika maupun Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
Sama halnya dengan kebijakan karantina yang terus mendebatkan penetapan jumlah hari pada pelaku perjalanan. Meskipun kebijakan yang dibuat berdasarkan pada kondisi terkini, namun informasi yang berubah-ubah justru membingungkan.
Menurut Tirta, terlalu banyak pihak yang memberikan pernyataan akan COVID-19 justru membuat masyarakat bingung dalam menyaring mana berita yang akurat atau hoaks. Akibatnya, masyarakat lebih memilih untuk mempercayai informasi yang beredar pada grup Whatsapp maupun Instagram.
Dalam hal ini, tidak hanya pengguna media sosial tetapi juga kementerian terkait seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Komunikasi dan Informatika maupun Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
Baca juga: Gempuran hoaks (COVID-19) pada 2021
Dia menyarankan pada pemerintah untuk memutuskan kembali siapa pihak yang berkompeten dalam bidangnya dan sesuai lembaga yang menaunginya untuk mengumumkan situasi terkini dari COVID-19.
Selain itu untuk juru bicara, diharapkan pemerintah dapat meminta bantuan dari para ahli yang berkompeten pada bidangnya serta dapat berkomunikasi dengan baik supaya edukasi pada masyarakat dapat tersampaikan lebih baik lagi.
"Penyampaian edukasi covid itu oleh orang-orang yang kompeten dan dalam satu organisasi atau kementerian saja. Jika masing-masing orang memberikan pernyataan, yang terjadi adalah adanya infodemik atau banyaknya informasi yang beredar, sehingga masyarakat bingung," tegas dia.
Meskipun menurutnya saat ini penduduk Indonesia sudah lebih pintar dan cermat dalam menanggapi sebuah berita, tetapi alangkah lebih baik bila para ahli juga membantu pemerintah dengan mengedukasi masyarakat melalui berbagai platform seperti media sosial yang ada baik Twitter atau siaran langsung Instagram supaya dapat memberikan penerangan pada masyarakat.
Baca juga: Mafindo: Mayoritas masyarakat terpapar hoaks
Agar media sosial masyarakat lebih banyak berisi mengenai informasi akurat dan mencerdaskan dibandingkan dengan informasi yang bersifat sensasional ataupun hoaks tidak mendasar.
"Inilah yang harus kita perbaiki bersama untuk anak muda kita sekarang. Mungkin stigma anak muda percaya konspirasi tidak semua, saya percaya Indonesia masih punya harapan," kata Tirta.