Jakarta (ANTARA) - Bila menilik 2020, informasi palsu terkait vaksin COVID-19 masih terbilang jarang ditemukan pada jejaring media sosial di Tanah Air.
Indonesia saat itu lebih banyak digencarkan dengan hoaks tentang obat-obatan serta langkah-langkah pemulihan yang diklaim dapat meredakan infeksi SARS-CoV-2.
Berkumur dengan air garam maupun mengonsumsi larutan minyak kayu putih dengan air menjadi beberapa contoh kabar salah, tentang cara menghilangkan paparan COVID-19 yang sempat heboh pada 2020.
Memasuki Desember 2020, sejumlah negara di dunia tercatat memulai program vaksinasi untuk menangkal penyebaran virus yang pertama kali ditemukan di Wuhan, China itu.
Inggris menjadi pionir program vaksinasi COVID-19 di dunia dengan menyuntikkan vaksin Pfizer-BioNTech kepada seorang wanita berusia 90 tahun bernama Margaret Keenan.
Margaret Keenan pun tercatat sebagai orang pertama di dunia yang menerima vaksin COVID-19 di luar uji coba, yakni tepatnya pada 8 Desember 2020.
Pemberian vaksin COVID-19 pada bulan yang sama, kemudian dilanjutkan di 28 negara di dunia, di antaranya Uni Emirat Arab, Amerika Serikat, Qatar, Arab Saudi, Kanada, Rusia, Jerman, dan Yunani.
Sementara itu, vaksinasi di Indonesia baru dilaksanakan pada pekan kedua Januari 2021.
Kementerian Kesehatan RI menyatakan penyuntikan vaksin COVID-19 tahap pertama mulai dilakukan terhadap kelompok prioritas, yaitu 1,3 juta tenaga kesehatan dan petugas publik.
Selanjutnya, pemberian dosis pertama ditergetkan pada 181,5 juta penduduk Indonesia hingga Maret 2022.
Gempuran Hoaks Vaksin COVID-19
*Sinovac
Seolah tak mau kalah cepat, dimulainya program vaksinasi COVID-19 di Tanah Air, turut menjadi momentum menyebarnya informasi palsu soal vaksin.
Misalnya Sinovac, salah satu vaksin buatan China ini disebut sebagai vaksin COVID-19 paling lemah di dunia.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan diklaim telah melakukan perbandingan pada 10 jenis vaksin virus corona dari berbagai perusahaan farmasi global. Sinovac ditempatkan di posisi 10 atau terakhir.
Vaksin kedua buatan China yang mendapat persetujuan dari WHO setelah Sinopharm ini, juga diklaim sebagai vaksin COVID-19 dengan efektivitas paling rendah.
Narasi yang menyebar melalui pesan berantai di WhatsApp itu diklarifikasi Juru bicara vaksinasi COVID-19 dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Lucia Rizka Andalusia pada awal 2021.
Lucia menjelaskan tidak ada dokumen maupun informasi resmi dari WHO yang membandingkan respons imunitas dari 10 kandidat vaksin, atau pernyataan bahwa vaksin Sinovac memiliki efektivitas paling rendah.
Tak hanya soal efikasi, Sinovac turut diisukan menjadi penyebab kematian empat tenaga kesehatan RI serta pendakwah Syekh Ali Jaber.
Tentunya, semua narasi tersebut telah dibantah dengan didukung bukti penelusuran fakta dari Kementerian Komunikasi dan Informatika RI (Kominfo) serta lembaga pemeriksa fakta Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO).
Dalam catatan laporan hoaks Kominfo, informasi palsu soal Sinovac paling banyak ditemukan pada Januari hingga pertengahan 2021.
*Moderna
Moderna turut menjadi vaksin COVID-19 yang diterpa "kabar miring" di Indonesia.
Efek samping yang dirasakan para penerima vaksin Moderna disebut dapat berupa pembengkakan wajah dan mata.
Vaksin racikan perusahaan farmasi asal Amerika Serikat itu juga diklaim mengandung potasium klorida, yang berbahaya bagi wanita hamil, hingga dapat menyebabkan keguguran serta mengakibatkan kematian.
Namun, pada 3 Maret 2021, Reuters melaporkan bahwa vaksin COVID-19 Moderna tidak mengandung potasium klorida.
Kantor Berita Inggris itu menyebutkan narasi terkait efek samping Moderna sebagai informasi keliru.
*AstraZeneca
Sebaran hoaks terkait vaksin AstraZeneca juga tak terelakan pada 2021.
Bahkan, misinformasi tentang vaksin buatan Inggris ini muncul hanya beberapa hari setelah jutaan vaksinnya tiba di Indonesia, tepatnya 8 Maret 2021.
Hoaks soal vaksin AstraZeneca, dalam catatan ANTARA, berawal dari narasi yang beredar di luar negeri.
Sejumlah unggahan yang tersebar melalui Twitter menyebutkan bahwa 17 negara telah melarang penggunaan vaksin COVID-19 AstraZeneca sejak pertengahan Maret 2021.
Padahal, 17 negara, termasuk Indonesia, saat itu hanya menunda atau menghentikan sementara penggunaan vaksin AstraZeneca, karena ditemukan 30 kasus penggumpalan darah pascapenyuntikan vaksin pada sejumlah warga Eropa.
Pada 17 Maret 2021, WHO menyatakan vaksin AstraZeneca memiliki manfaat lebih besar jika dibandingkan dengan risiko yang ditimbulkan.
WHO pun merekomendasikan kelanjutan penggunaan vaksin hasil kerja sama AstraZeneca dengan Universitas Oxford tersebut.
*Pfizer
Vaksin hasil kerja sama perusahaan bioteknologi Jerman, BioNTech, dengan perusahaan farmasi Amerika Serikat, Pfizer, boleh dikatakan menjadi korban hoaks dengan narasi yang paling variatif.
Menurut data yang dihimpun ANTARA, sejumlah sasaran informasi palsu mengenai vaksin Pfizer tercatat meliputi efek samping, kandungan dalam vaksin, serta penolakan penggunaannya oleh pejabat.
Dari sisi efek samping, Pfizer diklaim dapat menyebabkan kemandulan, munculnya kelainan sel darah putih, membuat hilang kesadaran, hingga mengakibatkan kematian.
Isu tentang adanya zat penguat jantung dalam vaksin Pfizer juga sempat beredar pada Oktober 2021.
Bahkan, Ugur Sahin, penemu vaksin Pfizer sekaligus pendiri perusahaan BioNTech serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) Amerika Serikat juga disebut menolak suntikan Pfizer.
Namun, lagi-lagi semua narasi tersebut merupakan klaim salah, yang sudah diklarifikasi melalui penelusuran sejumlah pemeriksa fakta dari Reuters, British Broadcasting Corporation (BBC), Agence France-Presse (AFP), maupun ANTARA.
Lawan Hoaks
Tenaga Ahli Menkominfo Donny Budi Utoyo merinci ada 414 konten hoaks vaksin COVID-19 yang ditemukan hingga Desember 2021.
Ratusan informasi palsu itu terpantau dibagikan di sejumlah platform media sosial hingga mencapai ribuan hoaks. Ada yang masih menggunakan narasi asli, adapula yang sudah berubah menjadi hoaks baru.
Donny menjelaskan pihaknya sudah menurunkan total 2.498 kabar salah sampai Desember 2021. Yang terbanyak dari Facebook, tepatnya 2.306 konten.
Namun, upaya tersebut dinilai tidak dapat menuntaskan masalah hoaks, yang berdasarkan penelitian 10 kali lebih cepat menyebar dibandingkan dengan konten klarifikasinya.
Ketua Presidium MAFINDO Septiaji Eko Nugroho menilai peningkatan literasi digital pada masyarakat Indonesia masih menjadi kunci utama untuk menahan gempuran hoaks.
Dengan literasi digital, setidaknya masyarakat bisa lebih cepat mengenali informasi palsu, sehingga hoaks tersebut tidak mempengaruhi dan berhenti di mereka.
Kendati demikian, Septiaji mengakui bahwa membangkitkan kesadaran masyarakat untuk lebih "melek" hoaks ini perlu dilakukan secarasistematis dan kooperatif antara pemerintah, media, serta lembaga independen.