Oleh I Ketut Sutika
Denpasar (Antara Bali) - Berawal sejumlah mahasiswa Universitas Udayana (Unud) dari luar Bali mengumpulkan dana untuk kegiatan sosial terkait perayaan Idul Fitri dengan menjual makanan untuk berbuka puasa.
Aneka jenis menu, khususnya kolak itu dibungkus dalam plastik dijual di depan kampus Unud di Jalan Sudirman Denpasar beberapa tahun silam.
Beberapa mahasiswi berkerudung itu secara terpencar menjanjakan barang dagangan keperluan buka puasa.
Pembelinya adalah masyarakat yang melewati jalur tersebut, sehingga kemacetan lalu lintas di jalur itu pada sore hari tidak dapat dihindari.
Konsumennya tidak sebatas pada umat muslim, namun juga masyarakat setempat yang nonmislim.
"Itulah awal mula penjualan makanan untuk buka puasa yang kini tersebar di beberapa tempat tertentu, khususnya pemukiman komunitas muslim di kota Denpasar," kata pengamat budaya Islam di Bali, Prof Dr Ibrahim R. SH, MA.
Ia yang juga guru besar Fakultas Hukum Universitas Udayana menambahkan, mahasiswa luar Bali itu selama bulan puasa mempunyai aktivitas di luar kampus dalam mengumpulkan dana untuk membiayai kegiatan sosial.
Upaya mahasiswa menjual makanan untuk berbuka puasa itulah rupanya memberikan inspirasi bagi para pedagang dan maysarakat di beberapa tempat di kota Denpasar dan Bali umumnya untuk menyediakan segala kebutuhan untuk kepentingan buka puasa.
Masyarakat dan pedagang yang menyediakan aneka jenis makanan berbuka puasa di beberapa tempat tertentu baru ditemui dalam beberapa tahun belakangan ini.
Sebelum rintisan mahasiswa Unud itu, pedagang makanan khusus buka puasa tidak ada, biasa-biasa saja, namun dua-tiga tahun terakhir mudah ditemui di beberapa lokasi, khususnya komunitas muslim.
Bahkan di komplek perumahan Perum-Perumnas Monang-Maning Denpasar, kawasan pemukiman yang dihuni sekitar 2.500 kepala keluarga dari berbagai etnis di Nusantara berjejer sepanjang jalan pedagang yang menjual makanan dan mimunan untuk buka puasa.
Para pedagang itu menyediakan beragam jenis makanan yang dikemas sedemikian rupa, seperti kolak, sayur, dan lauk-pauk.
Semua jenis makanan keperluan buka puasa itu sudah dalam kondisi terbungkus dengan harga yang sudah ditetapkan sehingga konsumen tinggal memilih, tutur Prof Ibrahim yang juga Ketua Kesatuan Pengawas Internal Unud.
Terbantu
Prof Ibrahim yang meniti karier dari seorang guru di Sekolah Lanjutan Atas (SLA) Saraswati Denpasar menambahkan, dengan adanya para pedagang dan masyarat yang menjual keperluan untuk berbuka puasa akan sangat membantu umat muslim melaksanakan bulan Ramadhan.
Umat muslim yang datang dari berbagai daerah di Indonesia yang menetap di Kota Denpasar, yang tidak sempat menyiapkan makanan keperluan buka puasa dapat memperolehnya secara mudah.
Makanan berbuka puasa yang disediakan para pedagang dan masyarakat di pinggir jalan strategis itu kebanyakan berupa kolek dalam berbagai rasa yang mengutamakan rasa manis.
Sedangkan jenis makanan biasa-biasa saja, seperti daerah lainnya di Indonesia, karena tidak begitu banyak jenis makanan khas Bali yang bisa dijadikan untuk berbuka puasa, ujar Prof Ibrahim yang ikut membidani lahirnya program pascasarjana S-2 Universitas Mahanderata Denpasar.
Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LP POM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bali Roichan Muchlis menambahkan, pihaknya selama ini telah menerbitkan 183 sertifikat halal terhadap berbagai jenis produk pertanian di daerah ini.
Dengan demikian jenis matadagangan tersebut menembus pasaran mancanegara, disamping pasaran lokal dan sejumlah daerah di Indonesia.
Berbagai jenis matadagangan yang bersertfikat halal itu menyangkut hasil olahan makanan, minuman, industri dan kosmetik.
Sertifikat halal itu diterbitkan melalui hasil pengkajian dan penelitian dalam proses produksi yang dilakukan secara berkesinambungan menjadi salah satu persyaratan jenis produk tersebut menembus pasaran ekspor maupun bisa diterima konsumen dalam negeri.
Tim LP POM MUI Bali melakukan pengkajian dan pengawasan sebelum penerbitan sertifikat, dan selanjutnya melakukan pengawasan melalui sistem kunjungan mendadak (sidak).
"Jika perusahaan yang memproduksi bahan makanan, obat-obatan dan kosmetika itu melakukan penyimpangan akan mendapat sanksi, bahkan sertifikat halal yang dikantonginya bisa dicabut," ujar Haji Roichan Muchlis yang juga penasehat MUI Bali.
Sertifikat halal yang diberikan kepada sejumlah perusahaan dan perorangan di Bali itu tidak bersifat permanen, karena harus diperbaharui setiap tiga tahun sekali.
Perusahaan yang telah mengantongi sertifikat halal itu umumnya mematuhi ketentuan yang telah ditetapkan.
Meskipun demikian masih tetap menjadi sasaran sidak yang dilakukan tim LP POM MUI secara periodik.
Dengan memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan dan tidak pernah mendapat sanksi, sekaligus memudahkan perusahaan bersangkutan dalam memperpanjang sertifikat halal.
"Penerbitan sertifikat halal itu menyangkut berbagai aspek selain faktor utama kesehatan, yakni aman untuk dikonsumsi maupun dimanfaatkan untuk kepentingan tubuh," tutur Haji Roichan Muchlis.(IGT/T007)