Jakarta (ANTARA) - Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia (HAKLI) menyatakan lebih dari 90 persen masyarakat yang menjalani isolasi mandiri di wilayah Jawa-Bali menerima layanan konsultasi, paket obat-obatan, dan ketersediaan satuan tugas COVID-19 dalam melaksanakan monitoring.
Ketua Umum HAKLI, Prof Arif Sumantri dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu, menyampaikan sebesar 32 persen isolasi mandiri di wilayah itu menggunakan rumah sendiri, dengan 21 persen masih tidak terpisah ruangan dengan keluarga yang negatif.
"Bahkan, 29 persen diketahui terdapat penolakan masyarakat sekitar terhadap pelaksanaan isolasi mandiri," papar Arif mengenai hasil pemetaan kesehatan lingkungan pada masyarakat isolasi mandiri di Pulau Jawa-Bali.
Baca juga: Korem Wira Satya: Isoter berdampak turunkan COVID-19 di Bali
Dalam pemetaan yang dilakukan melalui penyebarluasan kuesioner diisi oleh 2.095 Tenaga Sanitasi Lingkungan dari 3.730 Puskesmas yang tersebar di Pulau Jawa dan Bali dalam kurun waktu dua pekan (2-15 Agustus 2021) itu juga disampaikan terkait pengelolaan limbah, sebesar 64 persen menyatakan limbah telah dikelola dengan 72 persen dilakukan pemisahan limbah, dan 77 persen melakukan desinfeksi pada limbah isolasi mandiri.
"Namun, 61 persen tidak dilakukan penandaan kantong limbah isolasi mandiri," kata Arif.
Ia menambahkan pengelola dan pengangkut limbah didominasi secara mandiri, yaitu sebesar 53 persen oleh mandiri dengan bimbingan, sedangkan pengangkutan limbah sebesar 63 persen juga secara mandiri.
Selain itu, lanjut dia, dalam pengangkutan, 21 persen dilakukan oleh petugas kebersihan, 8 persen oleh dinas lingkungan hidup, dan 8 persen oleh pihak ketiga/swasta.
Dalam pembuangan akhir limbah, 58 persen mengarah untuk ditimbun/dibakar, sedangkan 40 persen limbah akan mengarah ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA).
Baca juga: Isolasi terpusat jadi jurus Bali turunkan penyebaran COVID-19
Terkait desinfeksi, sebesar 93 persen telah dilakukan desinfeksi pada tempat isolasi mandiri oleh satgas desa, RT/RW setempat, Puskesmas, maupun secara mandiri.
Dalam pemetaan itu juga ditemukan sebesar 17 persen masih belum ada program pelatihan/pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan COVID-19 di wilayahnya.
Didapatkan juga informasi bahwa 38 persen menyatakan tidak ada pelatihan pemulasaraan jenazah pada warga/kader dan 47 persen tidak ada pelatihan dalam penanganan limbah dari isolasi mandiri untuk warga/kader.
Secara distribusi proporsi pelaksana pemulasaraan jenazah isolasi mandiri, Arif mengemukakan adanya kontribusi di antara petugas, yaitu relawan terlatih, petugas rumah sakit, petugas Puskesmas, dan petugas BPBD.
"98 persen juga menyatakan bahwa petugas tersebut telah menggunakan APD yang sesuai. Namun, 61 persen mengungkapkan tidak ada pengamanan limbah cair hasil dari pemulasaraan jenazah isolasi mandiri," papar Arif.
Baca juga: Satgas Bali: 41,2 persen pasien COVID-19 dirawat diisolasi terpusat
Dari data yang diperoleh, juga tergambarkan kepatuhan protokol kesehatan, sebesar 85 persen patuh mengurangi mobilitas, 82 persen taat mencuci tangan, 67 persen taat penggunaan masker, 67 persen patuh dalam jaga jarak, dan 57 persen patuh untuk menghindari kerumunan.
Oleh karena itu, Arif Sumantri menyampaikan HAKLI menyatakan perlunya langkah-langkah konkrit dan strategis dalam mengoptimalkan upaya penanggulangan COVID-19 sebagai bentuk pencegahan lonjakan kasus berikutnya.
Di antaranya dengan melakukan pemantauan dan evaluasi setiap kasus terkonfirmasi COVID-19 dalam melaksanakan isolasi mandiri sesuai dengan aspek-aspek isolasi dan tidak lengah dengan penurunan kasus
Arif menambahkan pemberdayaan masyarakat berupa pelatihan pengelolaan limbah isoman dan pemulasaraan jenazah isolasi mandiri pada seluruh satuan tugas COVID-19 di lini masyarakat serta penyediaan sarana yang dibutuhkan.
Selain itu, menumbuhkan "New Normal Paradigm" dalam penerapan protokol kesehatan serta perilaku hidup bersih dan sehat pada setiap kebijakan, peraturan, produk hukum, operasional dari penyelenggaraan pelayanan oleh pemerintah pada masyarakat.