Denpasar (ANTARA) - Pengabdian untuk membina, melestarikan dan mengembangkan tari Bali yang dilakoni I Komang Gde Urip Tribhuana (almarhum) selama 50 tahun lebih, akhirnya berbuah manis dengan anugerah Dharma Kusuma 2021 dari Pemerintah Provinsi Bali.
Anugerah Dharma Kusuma sebagai penghargaan tertinggi di bidang seni itu merupakan bentuk penghormatan dan pengakuan Pemerintah Provinsi Bali atas jasa, prestasi dan pencapaian seniman, budayawan, ilmuwan maupun tokoh masyarakat dalam penguatan dan pemajuan kebudayaan Bali.
I Komang Gde Urip Tribhuana memang telah berpulang pada 12 Februari 2021 karena sakit yang diderita. Namun, jasa dan pengabdian Sang Arjuna dari Taman Bali ini tetap hidup dan dikenang tak hanya oleh masyarakat Bali.
"Saya merasa terharu, sekaligus bangga memiliki suami Jero Komang Urip. Walaupun Beliau sudah tiada, tetapi namanya tetap dikenang," tutur Ni Putu Nursanti sesaat setelah menerima Piagam Penghargaan Dharma Kusuma dari Gubernur Bali Wayan Koster pada 14 Agustus 2021, dalam peringatan Hari Jadi ke-63 Provinsi Bali.
Baca juga: Empat seniman Bali dianugerahi Dharma Kusuma
Para pecinta kesenian Bali di era 1970-an hingga 1990-an tentunya akan mengingat sosok seniman tari I Komang Gde Urip Tribhuana.
Seniman berparas tampan kelahiran 10 Februari 1953 ini kerap memerankan tokoh Rama, Arjuna, Yudistira dan Krisna dalam Sendratari Ramayana dan Mahabharata yang dipentaskan di Panggung Terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Provinsi Bali.
I Komang Gde Urip Tribhuana (almarhum), minatnya yang kuat untuk menekuni kesenian sudah nampak sejak kecil. Awalnya seniman yang berasal dari Banjar Guliang Kangin, Desa Taman Bali, Kabupaten Bangli ini, sering ikut bersama sang kakak untuk berlatih menari di desa setempat. Terlebih saat itu kesenian Janger dan Joged Bumbung memang sedang berkembang di desa setempat.
Oleh karena ayahnya yang seorang polisi dan harus berpindah-pindah tugas, Komang Urip pun akhirnya berpindah-pindah tempat untuk menempuh pendidikan dan juga belajar menari.
Anak dari pasangan I Ketut Rakti dan Ni Wayan Kani ini diantaranya sempat belajar di Kintamani, Kabupaten Bangli hingga di Blahbatuh, Kabupaten Gianyar.
Baca juga: Enam seniman Bali terima "Adi Sewaka Nugraha" dari Pemprov
Ketertarikannya yang begitu besar pada seni, sehingga Anak dari pasangan I Ketut Rakti dan Ni Wayan Kani memutuskan berhenti bersekolah dari SMA Negeri Gianyar, kendati baru bersekolah selama tiga bulan. Ia lebih memilih untuk melanjutkan pendidikan di Konservatori Karawitan (Kokar) Bali dari tahun 1969-1971.
Pesona wajah tampan dan kemampuan menarinya yang menonjol saat di Kokar Bali, membuat Komang Urip kerap didaulat tampil dalam pergelaran di sekolah dan acara "ngayah" menari ke sejumlah pura di Bali.
Saat pentas tersebut, ia seringkali diminta memerankan tokoh Arjuna maupun Rama. Tak hanya memerankan tokoh Arjuna, Komang Urip remaja juga mahir menarikan Tari Kebyar Duduk dan Tari Terompong.
Pande Putu Martha, pensiunan salah satu guru praktik di Kokar Bali menceritakan dengan kegiatan pentas yang padat dan seringkali hingga larut malam, Komang Urip sempat sampai kelelahan dan sakit.
"Oleh karena itu, saya mengajak Komang Urip untuk tinggal di mess sekolah. Bahkan hingga menempuh pendidikan tinggi, Komang Urip masih tinggal di Mess Kokar Bali," kenang Pande Putu Martha.
Untuk semakin memantapkan kemampuan akademis dan praktiknya dalam menari, setamat dari Kokar Bali pada 1971, Komang Urip melanjutkan pendidikan ke Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Denpasar.
Prestasinya ketika di Kokar Bali pun tidak kendur ketika menempuh pendidikan tinggi, sehingga ketika menamatkan pendidikan tahun 1976, Komang Urip langsung diusulkan untuk menjadi dosen di kampus setempat.
Tak hanya mendapat kepercayaan untuk tampil dalam pergelaran dan kegiatan "ngayah" menari di sejumlah pura Bali, pada tahun 1972-1973, ia juga telah diminta dalam kegiatan promosi dan diplomasi budaya ke Amerika Serikat dan sejumlah negara di Eropa. Dalam lawatan itu, ia kerap membawakan Tari Terompong, Kebyar Duduk dan Oleg.
Sanggar Tari Langlang Bhuana
Pada tahun 1975, saat hendak mendapatkan kesempatan untuk pentas di Jepang, Komang Urip membentuk kursus tari Bali yang dinamakannya Bengkel Tari Langlang Bhuana.
Oleh karena ia masih tinggal di Mess Kokar Bali, anak-anak dan remaja yang ingin belajar menari juga dilatihnya di sekitar tempat tersebut. Tarian yang biasa ditarikannya, juga ia berikan kepada anak didiknya di sanggar.
Baca juga: Wakil Wali Kota Denpasar apresiasi pemusik "gamut" Made Wardana
Tak hanya dilatih menari, anak-anak dan remaja yang belajar menari itupun diselingi dengan keterampilan matembang, menabuh, tata rias bahkan cara membuat destar (ikat kepala)
Sembari menjadi dosen di ASTI Denpasar atau yang kini dikenal dengan ISI Denpasar, aktivitas membina para anak didik di sanggar tetap berjalan.
Pada 1985, ketika ia mengontrak rumah di Jalan Nusa Indah, Denpasar, tempat berlatih menari anak-anak pun ikut berpindah. Bersama istrinya, Ni Putu Nursanti, ia kemudian mengajar menari dengan meminjam tempat di Balai Banjar Abian Kapas Tengah.
Sejak 1989, Komang Urip kemudian menetap di Jalan Kenyeri Nomor 99 Y Kota Denpasar. Di kediamannya itu pula, ia melanjutkan kiprah Sanggar Tari Langlang Bhuana dalam mengajarkan tari untuk berbagai kelompok umur itu.
Kerap memerankan tokoh Arjuna dan Rama saat menempuh pendidikan di Kokar Bali, maka ketika sudah menjadi dosen pun dia tetap mendapatkan peran yang sama saat tampil dalam Pesta Kesenian Bali di Taman Budaya Provinsi Bali.
Mulai dari Pesta Kesenian Bali yang dihelat untuk pertama kalinya hingga dua dasawarsa berikutnya, selalu peran sebagai Arjuna, Rama, Yudhistira, dan Krisna secara silih berganti dilakoninya. Bersama Sanggar Printing Mas, ia pun kerap membawakan peran Mantri Manis saat pentas Arja Muani.
Demikian pula Komang Urip masih rutin mendapatkan kepercayaan untuk melakukan promosi dan diplomasi budaya ke luar negeri, diantaranya ke Jepang, Singapura, Amerika Serikat, San Fransisco, Australia, Korea Selatan dan sejumlah negara di Benua Eropa.
Baca juga: Putri Koster kenang Umbu Landu Paranggi sebagai "guru alam"
Di Institut Seni Indonesia Denpasar, seniman yang terkenal dengan kedisiplinannya ini tak hanya mengajarkan materi tari Bali seperti Palegongan, Kekebyaran dan Gambuh, ia pun mengampu mata kuliah Tata Rias dan Busana.
Itu sebabnya, Komang Urip telah banyak melahirkan anak didik yang mahir dalam tata rias Bali, tidak hanya untuk kebutuhan seni tari, tetapi juga hingga Payas Agung. Anak didiknya pun kemudian banyak mengikuti jejaknya membentuk sanggar tari Bali.
Memiliki kemampuan menari, bagi Komang Urip sekaligus merupakan kesempatan baginya untuk selalu mengabdikan diri pada seni, melalui kegiatan ngayah menari ke sejumlah pura-pura besar di wilayah Bali hingga ke Pulau Jawa dan Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Diantaranya saat ritual "piodalan" di Pura Agung Besakih, Pura Ulundanu Batur, Pura Lempuyang, Pura Dalem Balingkang, Pura Kancing Gumi, dan Puri Candi Narmada, ia bersama anak-anak Sanggar Langlang Buana kerap diminta untuk membawakan Tari Rejang, Tari Baris Gede, Sendratari ataupun Calonarang.
Untuk di luar Bali, ia juga selalu mendapatkan permintaan untuk ngayah menari saat piodalan di Pura Agung Blambangan, Pura Alas Purwo, Pura Gunung Raung, Pura Mandara Giri Semeru Agung, Pura Penataran Agung Rinjani dan Pura Lingsar.
Untuk kegiatan "ngayah" saat ritual piodalan, meskipun Sanggar Langlang Bhuana diminta untuk membawakan sejumlah tari atau pementasan, Komang Urip tidak akan terlalu membawa banyak rombongan penari. Hal itu karena para anak didiknya di sanggar telah dilatih untuk bisa memerankan sejumlah tokoh dan bisa merias diri ketika tampil pentas.
Disiplin
Selain sangat disiplin dengan waktu, semasa hidupnya Komang Urip sangat mementingkan soal kebersihan para penarinya dan selalu ingin tampil dengan sempurna.
Karena sangat bersemangat untuk ngayah dan juga merasa bertanggung jawab dengan tugasnya sebagai panitia kesenian, ia bahkan sampai kurang memperhatikan waktu istirahatnya. Akibatnya, pada 2010, saat usai ngayah di Pura Mandara Giri Semeru Agung, Lumajang, Komang Urip sempat mengalami pandangan mata kabur hingga dua tahun lamanya.
Baca juga: Hingga 10 Juli, Disbud Bali alihkan pentas PKB ke virtual karena PPKM Darurat
Meskipun mengalami kendala penglihatan, tak membuat Komang Urip berhenti mengajar di kampus. Baru pada 2012 dia memutuskan untuk pensiun muda dari ISI Denpasar karena terserang stroke yang menyebabkannya agak kesulitan untuk berbicara. Namun, dari peristiwa itu, ia bisa kembali melihat dengan jelas.
Setelah purna tugas dari ISI Denpasar, ayah dari P Wahyundari Bhuana dan Wahyu Krisna Bhuana itu ketika kondisi kesehatannya baik, juga tetap turut ngayah ke sejumlah pura saat piodalan.
Bedanya, dia tidak ikut menari, tetapi hanya mengawasi anak-anak sanggarnya yang tampil. Dalam kesehariannya, ia pun tetap tak kenal lelah untuk melatih dan memantau anak didiknya di Sanggar Langlang Bhuana hingga akhir hayatnya dipanggil Sang Pencipta pada 12 Februari 2021.
Sanggar Tari Langlang Bhuana yang dibentuknya itu, pada 2014 juga telah mendapatkan piagam penghargaan dari Wali Kota Denpasar sebagai sanggar yang konsisten dan aktif dari sejak 1975 terus melestarikan seni dan budaya, di samping berbagai penghargaan lainnya.
Komang Urip pada 2018 juga mendapatkan Penghargaan Pengabdi Seni dari Gubernur Bali atas pengabdiannya yang telah membaktikan karya dan pengabdiannya bagi pelestarian dan pengembangan kehidupan seni budaya Bali.
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Prof Dr I Gede Arya Sugiartha mengemukakan, terkait mekanisme proses pemberian Penghargaan Dharma Kusuma 2021 didasari atas usulan dari perangkat daerah yang menangani urusan kebudayaan di masing-masing kabupaten/kota, lembaga pendidikan tinggi bidang kebudayaan dan lembaga non-pemerintah di bidang kebudayaan.
Baca juga: Budayawan Prof Dibia terima penghargaan seni dari India
Sementara itu, aspek verifikasi/penilaian yang telah ditetapkan meliputi pengalaman beraktivitas di bidang-bidang penguatan dan pemajuan kebudayaan dan karya monumental atau gagasan yang sudah terpublikasi.
Kemudian ada pengakuan masyarakat yakni sekurang-kurangnya mendapat tiga rekomendasi dari tokoh/lembaga, pengaruh karya dan atau gagasannya terhadap penguatan dan pemajuan kebudayaan.
Yang terakhir, pernah mendapat penghargaan sekurang-kurangnya di tingkat kabupaten/kota, baik melalui lomba, pengabdi, maupun penciptaan karya.
Mantan Rektor ISI Denpasar itu menambahkan, penerima Dharma Kusuma berhak mendapatkan piagam penghargaan, lencana emas seberat 20 gram, dan uang masing-masing sebesar Rp50 juta.
"Dengan penghargaan Dharma Kusuma ini, kami harapkan mampu memotivasi generasi penerus bangsa untuk mengabdikan keahlian, memiliki integritas, dedikasi, dan kontribusi dalam penguatan dan pemajuan kebudayaan Bali secara berkelanjutan, yang berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat," ucap Prof Arya.
Pengabdian "Sang Arjuna dari Taman Bali" tetap dikenang
Selasa, 17 Agustus 2021 21:07 WIB