Jakarta (ANTARA) - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) RI mencatat sebanyak 686 kasus hoaks atau kabar bohong terkait COVID-19 hingga Rabu (13/5/2020) yang berarti masih ada oknum masyarakat sengaja membuat informasi pandemi saat ini menjadi gaduh.
"Ini berarti memang tidak serta merta masyarakat itu hanya mengonsumsi informasi, namun ada oknum yang sengaja membuat informasi berbeda dan membuat gaduh. Ini yang menjadi tantangan informasi publik juga," kata Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Kominfo Prof Dr Widodo Muktiyo saat diskusi daring terkait "Dua Bulan Gugus Tugas Percepatan Penaganan COVID-19" di Jakarta, Rabu.
Bahkan, ia mengatakan dengan mudahnya individu saat ini memproduksi dan mendistribusikan informasi sendiri tanpa harus ada izin, Kementerian Kominfo hanya dapat menerapkan aturan dan sanksi berlaku melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Baca juga: Polda Bali tangkap penyebar hoaks terkait COVID-19
"Kalau ada yang menyalahi aturan maka ada sanksi. Sampai hari ini sudah ada 103 yang bermasalah dengan pidana dan hukum," katanya.
Terkait masalah ITE ataupun hoaks, ia menjelaskan terdapat tiga level informasi yang menjadi sumber kegaduhan tersebut. Level pertama ialah internet.
Jika terdapat masalah di level pertama itu, maka kementerian terkait akan mengomunikasikannya dengan pihak "Internet Service Provider" atau penyelenggara jasa internet.
Kemudian di level kedua ialah media sosial di antaranya instagram, facebook dan twitter. Dalam hal ini jika ditemukan masalah atau ada yang melanggar, maka Kementerian Kominfo atau pihak berwenang melakukan tindakan "take down" atau blokir.
"Yang paling berbahaya ialah level ketiga yakni media yang tertutup sistemnya misal WhatsApp grup," ujar dia.
Baca juga: Pakar: Informasi COVID-19 lebih menakutkan daripada penyakitnya
Ia mengaku ketiga level tersebut menjadi tantangan tersendiri sebab jangan sampai masyarakat mengonsumsi dan membenarkan semua informasi tersebut. Apalagi saat ini isu COVID-19 telah melebar ke ekonomi, sosial, bantuan sosial dan sebagainya.
Menurutnya, hal tersebut tentunya akan memudahkan adanya persepsi yang keliru sehingga merugikan bangsa dan masyarakat bersama-sama.
Polri
Sementara itu, Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri dan Polda jajaran telah menangani sebanyak 103 kasus hoaks penyebaran vCOVID-19 di media sosial.
"Sampai hari Kamis(14/5/2020), ada 103 kasus hoaks soal Corona yang ditangani Polri," kata Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan di Kantor Bareskrim Polri.
Dari hari ke hari, jumlah kasus hoaks soal COVID-19 yang tangani Polri terus bertambah. Selama Maret 2020, tercatat Polri telah menangani 99 kasus. Saat ini naik menjadi 103 kasus.
Baca juga: Sejak Januari, ANTARA produksi 33.500 berita COVID-19
Dari 103 kasus hoaks COVID-19 ini, sebaran tertinggi ada di empat wilayah yakni Polda Metro Jaya menangani 14 kasus, Polda Jawa Timur menangani 12 kasus, Polda Riau menangani 9 kasus. Kemudian Polda Jawa Barat menangani 7 kasus dan Siber Bareskrim menangani 6 kasus.
"Sisanya 55 kasus hoaks ditangani Polda jajaran," ujarnya.
Terkait motif penyebar hoaks, dari hasil pemeriksaan, para pelaku melakukannya karena iseng atau bahan bercanda, meskipun ada yang menyebar hoaks karena tidak puas dengan kerja Pemerintah.
Baca juga: Plaza SJS Padang laporkan kasus hoaks COVID-19 karena berdampak bisnis
Bila terbukti bersalah, para pelaku dijerat dengan Pasal 45 dan 45 A Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dengan ancaman pidana enam tahun penjara dan denda Rp1 miliar.
Ramadhan menegaskan, Polri terus bekerja melakukan patroli siber dan menindak konten-konten hoaks terkait COVID-19 di media sosial yang meresahkan masyarakat.
Selain menegakkan hukum, polisi juga berupaya mengedukasi masyarakat berupa imbauan dan kontra narasi melalui media sosial resmi Kepolisian Republik Indonesia.