Semarang (Antara Bali) - Sastrawan Universitas Indonesia Maman S. Mahayana menilai, harus ada pembatasan tegas antara kesusasteraan dan propaganda politik untuk membebaskan sastra dari kepentingan politik penguasa.
"Sastra pada hakikatnya bersifat ideologis, menyimpan ideologi pengarang berkaitan dengan orientasi budaya, sistem kepercayaan, sikap, dan sebagainya," katanya usai seminar "Melacak Jejak Indonesia: Gugatan Pramoedya Ananta Toer" di Semarang, Rabu.
Ia menjelaskan, pada zaman kolonial Belanda sastra dijadikan sebagai alat propaganda politik, di antaranya Balai Pustaka yang menjadi penerbitan pemerintah saat itu melakukan pembendungan terhadap bacaan-bacaan "liar".
Pemerintah kolonial Belanda, kata dia, melakukan pembatasan terhadap bacaan sehingga buku-buku yang beredar saat itu dimaksudkan menanamkan ideologi kolonial dan mengandung unsur-unsur pencitraan pemerintah Belanda.
Maman mencontohkan, novel "Siti Nurbaya" karya Marah Rusli dan "Salah Asuhan" karya Abdul Moeis, sebagai beberapa novel yang sebenarnya di dalamnya terdapat unsur-unsur pencitraan pemerintah kolonial Belanda.
"Pada novel Salah Asuhan misalnya, terdapat tokoh Corrie yang merupakan keturunan Indo-Perancis dan Hanafi, seorang pribumi yang digambarkan memiliki perbedaan strata sosial antara keduanya," katanya.
Perbedaan strata sosial yang digambarkan itu, kata dia, dimaksudkan bahwa kedudukan sosial bangsa Belanda jauh lebih tinggi dibandingkan dengan bangsa Indonesia yang justru mengerdilkan citra bangsa Indonesia.(*/R-M038)
Kesusastraan Harus Bebas Dari Propaganda Politik
Rabu, 1 Februari 2012 17:28 WIB