Jakarta (ANTARA) - Bukan karena Indonesia menjadi tuan rumah, Forum Air Dunia atau World Water Forum Ke-10 yang digelar di Bali pada 18 hingga 25 Mei disebut istimewa. Gelaran World Water Forum kali ini menghadirkan sesuatu yang berbeda.
Untuk pertama kalinya dalam histori gelaran internasional tiga tahunan itu, terdapat segmen pertemuan tingkat tinggi atau high-level meeting yang dihadiri perwakilan dari 48 negara dan organisasi internasional.
Presiden Joko Widodo saat membuka forum mengatakan dengan pertemuan di Pulau Dewata tersebut, Indonesia berharap dunia bisa saling bergandengan tangan secara berkesinambungan memperkuat kolaborasi dalam mengatasi tantangan global terkait air.
Dalam Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Perkembangan Sumber Daya Air 2024: Air untuk kesejahteraan dan perdamaian, disebutkan bahwa saat ini dunia sedang menghadapi krisis air yang dapat dilihat dan dirasakan dalam berbagai situasi.
Bahaya banjir dan ancaman tenggelam semakin meningkat, sedangkan di sisi lain separuh populasi dunia menghadapi krisis ketersediaan air. Kekeringan berdampak terhadap lebih dari 1,4 miliar orang dan menyebabkan kematian hampir 21.000 jiwa antara tahun 2002 dan 2021.
Laporan PBB juga menyebutkan, ketersediaan akses sumber daya air untuk kebutuhan air minum, sanitasi, dan kebersihan, akan membutuhkan investasi tahunan sekitar 114 miliar dolar AS atau setara Rp1.824 triliun (asumsi kurs Rp16.000 per dolar AS). Jumlah tersebut memang sangat besar, tapi kerugian yang dialami akan jauh lebih tinggi jika tidak diambil tindakan perbaikan.
mood
Deklarasi dan Kompendium
Untuk pertama kalinya juga dalam sejarah World Water Forum, dihasilkan deklarasi tingkat menteri setelah melalui proses yang pelik dan panjang karena tidak semua negara menerima usulan negara lain. Jalur konsultasi pun ditempuh melalui penawaran solusi terhadap berbagai perbedaan pandangan.
Deklarasi tingkat menteri yang dihadiri 108 negara dan 30 organisasi internasional tersebut menghasilkan beberapa usulan Indonesia, seperti penetapan Hari Danau Sedunia atau World Lake Day melalui resolusi PBB, pendirian pusat keunggulan ketahanan air dan iklim (Centre of Excellence Water and Climate Resilience) yang terintegrasi, dan pengarusutamaan isu pengelolaan air untuk negara-negara berkembang di pulau-pulau kecil.
Peringatan Hari Danau Sedunia diharapkan tak hanya menjadi sekadar simbol, tapi menjadi salah satu kunci utama dalam menjaga kelestarian danau di seluruh dunia. Danau disebut sebagai bendungan alam, yang kualitas dan kelestariannya harus dijaga karena rentan terhadap pencemaran air.
Sementara itu, terkait pusat keunggulan ketahanan air dan iklim, saat ini sudah ada di berbagai belahan dunia, namun belum saling terkoneksi. Pusat keunggulan tersebut tak hanya berbentuk fisik gedung saja, namun diharapkan bisa menjadi pusat aliansi yang mengoordinasikan berbagai pusat keunggulan terkait masalah air dunia.
Setahun setelah gelaran World Water Forum Ke-10 di Bali, diharapkan pusat keunggulan terintegrasi tersebut dapat diwujudkan. Di Indonesia sendiri, sudah ada Sabo Training Centre di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, yang digadang-gadang bisa menjadi bagian dari pusat keunggulan ketahanan air dan iklim ke depan.
Di sisi lain, kesetaraan akses terhadap air bersih di pulau-pulau kecil juga diserukan oleh Indonesia. Mayoritas negara-negara kepulauan kecil mempunyai problem yang relatif sama, yaitu keterbatasan sumber daya, keterpencilan, dan kerentanan terhadap bencana alam karena pusat ekonomi dekat dengan garis pantai, dan lainnya. Tantangan-tantangan tersebut makin diperburuk dengan kurangnya sumber daya keuangan dan kapasitas teknis, sehingga mengganggu implementasi rencana ketahanan iklim.
Capaian lain dalam World Water Forum Ke-10 dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari deklarasi adalah keberhasilan Indonesia menyusun daftar proyek terkait air yang menjadi andalan dari berbagai negara yang dimuat dalam kompendium. Kompendium tersebut mencakup 113 proyek di sektor air dan sanitasi dengan nilai total 9,4 miliar dolar AS atau Rp150,4 triliun (asumsi kurs Rp16.000 per dolar AS).
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas menyampaikan 113 proyek tersebut terdiri atas kajian, bantuan teknis, pusat riset, hingga pengembangan kapasitas. Proyek-proyek tersebut ada yang bersifat bilateral dan multilateral.
Optimisme
Gelaran World Water Forum Ke-10 di Bali menyita perhatian dunia seiring dengan hadirnya sosok Elon Musk. CEO Tesla Inc dan SpaceX, itu berbicara saat pembukaan World Water Forum Ke-10 dan mengungkapkan optimismenya bahwa krisis ketersediaan air global bisa diatasi.
Menurut Elon Musk, efisiensi desalinasi dapat menjadi salah satu jawaban. Desalinasi adalah proses menghilangkan kadar garam dari air (umumnya air yang digunakan air laut), sehingga air tersebut dapat dikonsumsi oleh makhluk hidup.
Proses desalinasi dinilai sebagai proses yang membutuhkan energi dan relatif mahal. Akan tetapi, pemanfaatan energi baru terbarukan dari matahari atau pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dapat membuatnya menjadi efektif dan relatif murah.
PLTS dapat menghasilkan sekitar satu Giga Watt (GW) per kilometer persegi per hari yang didapat dari sinar radiasi Matahari di permukaan. Elon Musk menilai jumlah tersebut cukup banyak.
Bicara soal PLTS, Pemerintah Indonesia berhasil membangun salah satu pembangkit listrik terapung yang terbesar di Asia Tenggara. PLTS Terapung Cirata merupakan tonggak sejarah yang penting dalam pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
PLTS tersebut dinobatkan sebagai PLTS yang terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas 192 Mega Watt peak (MWp). PLTS terapung itu mampu menyuplai listrik kepada lebih dari 50.000 rumah. PLTS tersebut merupakan satu contoh kerja sama air antarnegara Indonesia dan Uni Emirat Arab (UEA) yang bernilai 129 juta dolar AS. Inisiatif tersebut melibatkan pemerintahan dan perusahaan besar dalam memanfaatkan infrastruktur air seperti waduk.
Akhir pekan kemarin, gelaran World Water Forum Ke-10 di Bali telah berakhir dan Indonesia telah menyerahkan estafet tuan rumah penyelenggaraan World Water Forum kepada Arab Saudi. Kendati demikian, masih banyak hal yang harus dikerjakan dan diperbaiki, utamanya mengimplementasikan aksi nyata untuk mengatasi krisis air yang telah dirumuskan bersama agar manfaatnya segera bisa dirasakan oleh seluruh masyarakat dunia.
Editor: Masuki M. Astro