Gianyar, Bali (ANTARA) - Pendidikan Sokola suatu pendidikan kontekstual yang dirintis oleh Butet Manurung dan beberapa voluntir (relawan) pada masyarakat Adat Orang Rimba di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas, propinsi Jambi, menarik minat para aktivis dan pemerhati pendidikan di pulau Dewata.
“Sudah lama kami apresiasi yang dilakukan Butet Manurung dan beberapa voluntir yang mengadakan pendidikan kontekstual yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat adat Orang Rimba, di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas. Bali termasuk daerah yang juga memiliki adat yang kuat, mungkin ada yang bisa diambil hal-hal positif dari pendidikan Sokola,” kata I Komang Adiartha, pendiri sanggar Anak Tangguh, di Guwang Gianyar.
“Kebetulan Butet Manurung dan para relawan pendidikan Sokola sedang di Bali maka kami undang bicara di sini,” kata Adiartha, yang juga moderator acara diskusi bedah buku “Melawan Setan Bermata Runcing” yang menceritakan pengalaman gerakan pendidikan Sokola, di Kulidan kitchen & Space, Guwang.
Baca juga: "Melawan Setan bermata runcing" ungkap substansi pendidikan
Misalkan Agra, dari Tabanan, ingin belajar dari gerakan pendidikan Sokola untuk diterapkan kepada pelajar di Tabanan. “Saya mau para pelajar Tabanan yang sudah terkena modernisasi mau mengenal lebih jauh tentang hutan dan alam, agar mereka tidak tergantung kepada dunia modern,” katanya.
Peserta lainnya Jaswan, asal Tuban, Jawa Timur yang mengecap pendidikan tinggi di Universitas Undiksha, Buleleng, mengaku tertarik dengan pendidikan Sokola untuk diterapkan di daerah asalnya di Tuban, yang terhimpit oleh korporasi besar terutama industry rokok. “Saya mau menerapkan pendidikan Sokola di Tuban, tapi saya masih takut kelaparan. Bagaimana mengatasasi hal itu,” Tanya Jaswan.
Butet Manurung menjelaskan buku Melawan Setan Bermata Runcing ini merupakan kumpulan pengalaman pendidikan Sokola yang mengajarkan pendidikan kontekstual dan pendidikan kritis, serta melawan kemapanan yang diterapkan pada masyarakat Adat Orang Rimba di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas, propinsi Jambi.
Pendidikan Sokola kemudian berkembang menjadi 15 program pendidikan bagi masyarakat adat dan kelompok marjinal lainnya di antaranya di Sokola Kajang (2007-2014), Sokola Halmahera (2007-2009), Sokola Asmat (2013-2016), dan Sokola Wailago (2006-2016), tambah Butet.
Dodi Rakhdian, salah satu penulis buku itu mengatakan sejarah pendidikan Sokola berdiri sebagai pendidikan kepada masyarakat adat Orang Rimba untuk melawan kebijakan pemerintah yang mau mengeksploitasi hutan untuk kepentingan komersial. “Hutan hanya dilihat sebagai objek yang harus dieksplotasi untuk kepentingan bisnis, dan masyarakat yang tinggal di hutan itu harus disingkirkan,” tambah Dodi.
Jadi pendidikan Sokola adalah pendidikan yang kontektual, pendidikan yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat, pendidikan kritis dan pendidikan yang melawan kemapanan, tambah Aditya Dypta Anindita, salah seorang penulis buku itu sekaligus relawan Sokola.