Denpasar, Bali (ANTARA) - Mahasiswa program Doktoral yang juga Dosen S-2 Desain Universitas Harvard Amerika Serikat (AS), Xuanyi Nie kagum dengan rancang bangun dan arsitektur "Sun Sang Eco Village" Tabanan, Bali, yang menggunakan material dari bambu dan kayu.
"Saya kagum dan bangga dengan keberadaan kawasan 'Sun Sang Village' Tabanan yang arsitekturnya ramah lingkungan sekitarnya," kata Xuanyi Nie, di sela acara "Workshop Future City Summit" di Tabanan, Bali, Rabu.
Ia mengemukakan ditengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada era globalisasi, rancang bangun yang menggunakan material dari bahan-bahan alami, seperti bambu, kayu dan atap ilalang menjadi sorotan secara global dalam dunia desain bangunan.
"Bagi saya kreatif dan inovatif yang dilakukan arsitektur di Indonesia, khususnya arsitek Bali menjadi seni dalam rancang bangun dalam dunia arsitektur. Secara global para arsitektur saat ini sebagian besar sudah mengandalkan desain lewat komputer. Namun di Bali sendiri masih melakukan secara konvensional dalam mendesain bangunan. Ini luar biasa," jelas Xuanyi Nie didampingi sejumlah dosen, mahasiswa arsitektur dan desain Universitas Udayana, Bali.
Ia menambahkan jika ini dipadukan dengan desain modern, maka bangunan yang dirancang dengan bahan atau material alami (bambu, kayu dan atap ilalang) akan menjadi referensi arsitektur internasional.
Ditanya alasannya kegiatan di "Sun Sang Eco Village, Xuanyi Nie mengaku tempat ini sangat tepat untuk lebih banyak belajar untuk memanfaatkan bahan alami, selain itu para arsitektur bangunan ini adalah mahasiswa Bali.
"Kami bersama sejumlah mahasiswa Harvard University untuk belajar arsitektur dan desain bangunan yang ramah lingkungan. Dan kami temukan disini. Ini juga menjadi studi kolaborasi antara arsitektur konvensional dengan modern. Hasil dari pertemuan ini juga kami akan bukukan di Harvard University," tambahnya.
Hal yang sama dikatakan Kwok Ka Ming Andre, Founder and Chairman Future City Summit, bahwa arsitektur tradisional (konvensional) bisa dikolaborasikan dengan arsitektur modern.
"Kami banyak belajar dari pertemuan ini yang diselenggarakan di Sun Sang Eko Village. Sehingga nantinya akan menghasilkan rancang bangunan yang fantastis untuk sebuah kawasan desa wisata," ucapnya.
Sementara itu, seorang desain rancang bangun yang sekaligus investor "Sun Sang Eco Village" I Made Wirahadi Purnawan mengatakan keberadaan kawasan wisata seluas dua hektare ini menjadi daya tarik para wisatawan untuk menikmati liburan dan bermalam. Karena rancang bangun menggunakan material alami, yakni bambu dan kayu.
Wirahadi Purnawan yang akrab dipanggil Made Ciko menerangkan saat ini sudah ada lima investor dari luar negeri yang akan membangun sarana dan prasarana fasilitas penunjang pariwisata Pulau Dewata yang berada di kawasan Sun Sang Eco Village. Mereka sudah sepakat untuk menggunakan bahan material dari alam, seperti bambu dan kayu.
"Para investor sudah sepakat membangun sarana dan prasarana penunjang pariwisata itu, sehingga nantinya bangunan di kawasan ini ada nuansa berbeda dengan fasilitas di daerah lain. Disini benar-benar menggunakan bahan lokal, termasuk juga pekerja dari tenaga lokal," lanjutnya.
Made Ciko menjelaskan kawasan ini sudah lama, namun mulai pembangunan tahap awal di mulai tahun 2017. Ke depan secara bertahap akan dilakukan pembangunan oleh investor, sehingga jika sudah rampung keseluruhan akan menjadi percontohan kawasan villa ramah lingkungan.
Mahasiswa Harvard Amerika kagumi vila bambu "Sun Sang Eco Village"
Rabu, 15 Januari 2020 10:32 WIB