Jakarta (ANTARA) - "Sebagai pemuda, meresmikan berdirinya cabang Indonesia Muda di Pematang Siantar, dan meneriakkan 'Sumpah Pemuda' untuk pertama kali adalah amat penting," tulis Adam Malik dalam autobiografinya "Mengabdi Republik Jilid I: Adam Dari Andalas".
Adam Malik Batubara dikenal sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia yang ketiga. Selain sebagai politisi, Adam adalah juga seorang jurnalis dan diplomat ulung.
Sebelum menjabat sebagai wakil presiden, Adam pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dan ikut membidani pendirian Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN).
Ketertarikan terhadap politik, dan cita-cita kemerdekaan, sudah ada di benak pemuda kelahiran Pematangsiantar, 22 Juli 1917 yang hidup di tiga zaman, yaitu zaman penjajahan Belanda, zaman penjajahan Jepang, dan zaman Indonesia Merdeka itu.
Adam lahir dari sebuah keluarga pedagang yang berkecukupan, hal yang boleh dikatakan jarang di kalangan masyarakat Pematangsiantar saat itu.
Tolok ukur kekayaan orang tuanya bisa digambarkan dengan sebuah sedan Buick yang dibeli pada 1928, yang menjadi satu-satunya di seluruh Pematangsiantar.
Meskipun hidup dari keluarga yang berkecukupan, Adam tidak tumbuh menjadi pemuda yang bersikap masa bodoh terhadap segala sesuatu yang terjadi di kota kecil Pematangsiantar.
Dia kerap melihat bagaimana kondisi pekerja-pekerja perkebunan di Sumatera, yang kebanyakan didatangkan dari Jawa, yang datang berbelanja kebutuhan hidup ke toko ayahnya.
Dari para pekerja itu, Adam memperhatikan dan merasakan kepahitan penderitaan hidup yang mereka pikul.
"Mereka secara paksa dikontrak untuk bekerja selama suatu jangka waktu tertentu. Senantiasa diawasi dengan ketat, diperlakukan dengan kasar, sedangkan mereka hidup dalam keadaan yang amat menyedihkan, hal mana tak lain dan tak bukan adalah perbudakan dalam bentuk yang tertutup," tulis Adam dalam autobiografinya.
Melihat ketidakadilan yang dia hadapi di depan mata, Adam kerap mengkhayal sebagai "Adam dari Andalas", seorang maharaja dari Pematangsiantar yang memiliki makanan, pakaian, dan perumahan berlimpah untuk rakyatnya.
Baca juga: Pertemuan Jurnalis RI-RRT di Bali, wartawan China "jatuh cinta" Indonesia
Sekolah Agama
Meskipun jiwa mudanya bergejolak, Adam tetap menjadi anak yang patuh pada orang tuanya. Pun ketika dia diperlakukan berbeda dalam hal pendidikan.
Adam menilai ayahnya, Abdul Malik Batubara, mempunyai peraturan-peraturan yang agak aneh dalam pendidikan. Ketika kakak lelaki tertuanya mendapatkan pendidikan dan asuhan setinggi-tingginya pada sekolah-sekolah Belanda, Adam diharuskan masuk ke sekolah agama setamat dari Hollands Inlandsche School (HIS).
Maka Adam pun dikirim ke Bukittinggi untuk memasuki Sekolah Agama Parebek untuk dididik dan digembleng dalam nuansa Islami, meskipun di dalam hatinya tidak ada keinginan untuk menjadi seorang ulama.
Pendidikan agama di Sekolah Agama Parebek diajarkan oleh anak-anak muda yang berpikiran modern.
Karena itu, meskipun merasa tertekan, Adam banyak membaca majalah-majalah berpikiran maju seperti "Seruan Azhar" yang diterbitkan mahasiswa Indonesia di Kairo, "Medan Muslim" terbitan Yogyakarta, dan surat kabar "Pewarta Deli".
Melalui "Seruan Azhar", Adam banyak membaca tentang perjuangan kebangsaan Mesir, yang menurutnya sangat berlawanan dengan keadaan kaum kuli yang ada di Pematangsiantar.
Sedangkan di "Medan Muslim", Adam membaca tentang Haji Misbach yang meledakakkan granat di siang hari sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah Belanda.
Namun, pendidikan di Parebek hanya berjalan satu tahun, orang tuanya kemudian memindahkannya ke Sekolah Agama Al Masrullah yang berasrama di Tanjung Pura yang lebih dekat dari Pematangsiantar.
Meskipun tinggal di asrama, karena lokasi sekolah yang dekat, Adam kerap kali pulang ke rumah, suatu hal yang sebenarnya tidak diharapkan dari pola pendidikan di sekolah tersebut. Hal itu akhirnya merangsangnya untuk meninggalkan sekolah dan asrama tersebut.
Baca juga: Antara Raih Penghargaan Adam Malik Kemlu
Berdagang dan Berorganisasi
Setelah membujuk orang tuanya yang tidak mudah, Adam akhirnya hanya bersekolah selama dua tahun di Sekolah Al Masrullah. Selanjutnya dia bekerja di toko ayahnya, karena memang keinginannya menjadi pedagang seperti ayahnya.
Tidak begitu lama, di usia 15 tahun, Adam mulai menjalankan cabang dari toko ayahnya yang dinamakan "Toko Murah" untuk menarik perhatian masyarakat. Dagangan Adam lebih banyak ragamnya, tetapi dengan harga yang bisa dijangkau masyarakat miskin.
Namun, dunia niaga ternyata hanya alat Adam untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, cita-cita yang tidak diceritakan kepada orang tuanya.
Adam kemudian bergabung dengan organisasi kepanduan Muhammadiyah Hizbul Wathan, satu-satunya organisasi semipolitik yang ada di Pematangsiantar saat itu. Dia juga mendirikan Indonesia Muda cabang Pematangsiantar, yang berpusat di Batavia, dan mengampanyekan Sumpah Pemuda.
Setelah merasa cukup menguasai cara-cara berorganisasi, Adam kemudian mendirikan Partai Indonesia (Partindo) cabang Pematangsiantar, partai politik terbesar saat itu.
Aktivitas politik Adam itu kemudian membawanya berhubungan dengan dunia jurnalistik. Tulisan-tulisan Adam pertama kali dimuat di harian "Pelita Andalas" asuhan Djauhari Salim dan Hamid Lubis, selain dalam majalah Partindo yang tersebar di pelosok Sumatera.
Partindo juga membawa Adam mengenal tokoh-tokoh pergerakan dari Batavia seperti Sukarno, Muhammad Yamin, dan Amir Syarifuddin.
Sampai kemudian, pembubaran Partindo oleh pemerintah kolonial Belanda membuat Adam masygul. Dia merasa gejolak mudanya di dunia politik dirintangi oleh pemerintah kolonial Belanda.
Hijrah ke Batavia
Pembubaran Partindo kemudian memantapkan Adam untuk hijrah ke Batavia demi mematangkan cita-cita politiknya. Satu-satunya kenalan Adam di Batavia adalah bekas anggota Partindo bernama Yahya Nasution.
Meskipun tidak membawa banyak uang, Adam bertekad tidak mau menumpang hidup pada Yahya. Karena itu, dia banyak bergaul dengan pemuda-pemuda Pasar Senen yang memperdagangkan buku-buku bekas.
Namun, kedekatan Adam dengan Yahya rupanya juga menjadi pantauan polisi rahasia Belanda yang sedang mengawasi gerak-gerik Yahya, seorang agitator dalam Partai Republik Indonesia (Pari).
Akhirnya, ketika pemerintah kolonial Belanda mulai menangkap siapa saja yang menjadi anggota Pari pada 1935, Adam ikut ditangkap ketika sedang berada di Pasar Senen dan ditahan selama satu tahun di penjara Struiswijk.
"Sebenarnya tidak ada satu bukti pun yang dapat menunjukkan bahwa saya berhubungan rapat dengan Yahya Nasution atau pun Partai Pari. Penyelidikan tentang kegiatan saya tercela sebagaimana lazimnya dijalankan oleh polisi rahasia kolonial," tulis Adam dalam autobiografinya.
Di penjara Struiswijk itulah Adam kemudian berkenalan dengan Pandoe Kartawigoena, aktivis pemuda Republik Indonesia.
Persahabatan dengan Pandoe itu kemudian membawa Adam menorehkan sejarah penting bagi hidup dan perjalanan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan, yaitu mendirikan Kantor Berita ANTARA.
Baca juga: Praktisi: Terkuat, keberadaan jaringan LKBN ANTARA
Kantor Berita ANTARA
Adam dan Pandu kemudian dibebaskan pada 1936. Mei 1937, partai antifasis Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) mempertemukan mereka dengan dua sekawan Soemanang dan Albert Sipahoetar.
Dalam buku "80" yang diterbitkan Perum LKBN ANTARA untuk memperingati 10 windu kantor berita tersebut, disebutkan keempat pemuda itu kemudian sepakat mendirikan sebuah kantor berita atas usulan Soemanang.
"Saya bersemangat lagi, penuh antusias, dan optimisme. Usia saya waktu itu baru 20 tahun dan memang sedang radikal-radikalnya," kata Adam.
Kantor Berita ANTARA pun akhirnya didirikan. Soemanang, yang paling tua dan berpengalaman, menjadi pemimpin umum dengan Adam Malik sebagai wakilnya. Pemimpin redaksi dipegang Albert Sipahoetar dengan Pandoe Kartawigoena sebagai wakilnya. Saat itu, mereka berempat belum ada yang berusia 30 tahun.
Kantor Berita ANTARA terus berkembang dengan segala dinamikanya. Termasuk ketika Jepang masuk ke Indonesia, dan mengambil alih serta menggantinya dengan nama "Yashima", kemudian "Domei".
Ketika ANTARA dikuasai Jepang, para pekerjanya, termasuk Adam Malik tetap bekerja seperti biasanya, tetapi tetap bergerak di bawah tanah untuk memperjuangkan kemerdekaan.
Adam Malik pun terlibat ketika para pemuda mendesak Soekarno-Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan, yang puncaknya dengan membawa kedua tokoh itu ke Rengasdengklok.
Peran penting Adam dalam menyiarkan berita proklamasi terjadi ketika dia sudah mengantongi naskah proklamasi, kemudian menelepon Asa Bafagih di kantor ANTARA untuk membacakan naskah proklamasi dan menyiarkannya ke seluruh dunia.
Jurnalis, diplomat, dan politisi ulung itu bernama Adam Malik
Sabtu, 31 Agustus 2019 10:13 WIB
Saya bersemangat lagi, penuh antusias, dan optimisme. Usia saya waktu itu baru 20 tahun dan memang sedang radikal-radikalnya