Denpasar (Antaranews Bali) - Ini fakta yang diluar perkiraan. Media sosial (medsos) terbukti bukan hanya mampu "mendahului" media massa dalam informasi, karena prosesnya memang tanpa klarifikasi/editing dan bisa dilakukan siapapun dengan mengesampingkan akurasi.
Namun, media sosial juga mampu melakukan lebih dari sekadar "mendahului" di tikungan, yakni medsos mampu mengondisikan terjadinya pertengkaran media massa (wartawan) versus media massa (wartawan), termasuk para wartawan senior.
Adalah Reuni 212 pada 2 Desember 2018 yang menjadi fakta yang mampu memosisikan media massa berada dalam pertengkaran melalui medsos itu. Esoknya ketika ada media massa yang tidak memosisikan peristiwa yang "news" itu menjadi "headline" media massa, maka perdebatan dimulai.
Bahkan, pertengkaran yang "saling cakar" antar-wartawan senior yang berkelebat dalam media sosial itu masih ditingkahi oleh "para pengamat" dan bahkan "pengamat media". Celakanya, ada "pengamat media" yang bukan orang media tapi merasa lebih tahu dari orang media itu sendiri.
Sesungguhnya, hampir semua media melaporkan "Reuni 212" pada 2 Desember 2018 itu, baik media daring seperti detik, viva, kompas.id maupun Antaranews, sedangkan media cetak juga idem, seperti JPNN, Indopos, Republika, maupun Kompas. Bahkan, kantor berita Antara merilis 47 berita.
Namun, penempatan berita reuni dengan jumlah massa yang tidak kecil pada halaman 15 atau halaman sambungan dari Harian Kompas justru mengundang tanya, apalagi halaman utama koran itu mengupas tentang sampah/lingkungan.
Fakta itu pun dilengkapi dengan halaman muka dari Harian Media Indonesia dan Harian Sindo milik "tim sukses" yang juga "bersih" dari berita dan foto dari peristiwa spesial itu, padahal media internasional pun memberitakan, meski menyebutnya "thousand", bukan "million".
Harian Media Indonesia memilih berita utama yang berjudul "PP 49/2018 Solusi bagi Tenaga Honorer" dan Harian Sindo pun memilih berita utama berjudul "Pesona Ibu Negara di Panggung G-30". Koran Tempo memilih berita utama dengan judul "Menuju Ekosistem Digital".
Akhirnya, wartawan senior Hersubeno Arief pun geram dan mengkritik lewat medsos dengan judul "Bunuh Diri Massal Pers Indonesia Jilid II" yang dalam 3 menit sudah diakses 60.174 pengunjung. "Tanda-tanda pers Indonesia sedang melakukan bunuh diri massal, semakin nyata," tulisnya.
Menurut dia, pemberitaan media massa tentang Reuni 212 di Monas (2/12) itu seolah membuka tabir kooptasi penguasa, kepentingan ideologi, politik dan bisnis membuat pers menerapkan dua rumus baku, yakni framing dan black out.
Hersubeno pun menyandingkan sorotan media nasional (empat media nasional yang disebut dalam opini-nya) dengan media internasional. Bagi Hersubeno, media nasional menilai reuni itu sama sekali tidak menarik dan tidak layak berita, padahal media internasional pun memberitakan.
Namun, Hersubeno menilai halaman muka media nasional terbesar di Tanah Air yang justru "bersih" dari foto peristiwa spesial tersebut dan hanya terselip pada halaman 15 tanpa foto lautan manusia, membuktikan kooptasi ideologis, politis, dan bisnis itu pada media.
"Seorang pembaca Kompas yang kesal, sampai membuat status 'Koran Sampah!'," kutip Hersubeno dalam opini-nya yang mengkritisi 'headline' yang seolah mengibaratkan reuni seperti 'sampah' yang tidak layak diutamakan dalam pemberitaan.
Dengan mengamati berbagai halaman muka media itu, Hersubeno pun menimpali bahwa media melakukan "agenda setting" bersama kekuatan besar di belakangnya yakni "black out" (menganggap tidak penting/menenggelamkan) dan "framing" (memuat dengan bingkai negatif).
Target pertama black out sepenuhnya. Jangan sampai berita tersebut muncul di media. Meski upaya itu tidak berhasil, karena Reuni 212 terlalu besar untuk dihilangkan begitu saja. Itu berbeda dengan unjukrasa Badan Eksekutif Media Se-Indonesia (BEMSI), dan ribuan guru honorer yang berunjuk rasa ke istana pada beberapa waktu lalu.
Target kedua, kalau tidak bisa melakukan black out, maka berita itu harus dibuat tidak penting dan tidak relevan (setengah black out). Apa yang dilakukan Kompas dkk masuk dalam kategori ini. Target ketiga, diberitakan, namun dengan datar-datar saja (setengah black out). Republika yang milik Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf masuk dalam kategori ini, mengingat Republika adalah milik umat .
Target keempat adalah framing yakni tetap memberitakan, tapi dengan pembingkaian berita. Reuni memakan korban. Contohnya adalah Warta Kota yang membuat judul "Ketua RW Wafat Usai Reuni" Berita ini jelas terlihat sangat dipaksakan, karena hanya satu orang di tengah jutaan orang. Hal yang sama juga terjadi di media online dan televisi, kecuali TV One yang dinilainya tetap menjaga akal sehat.
Hersubeno mengakhiri analisanya dengan menyebut bahwa tidak perlu orang yang punya pengalaman di media untuk memahami "keanehan" media itu, karena Reuni 212 memenuhi semua syarat jurnalistik yakni pengaruh (magnitude), kedekatan (proximity), aktual (kebaruan), dampak (impact), masalah kemanusiaan (human interest) dan keluarbiasaan (unusualness).
Pertengkaran Medsos
Tidak hanya Hersubeno Arief, medsos juga dipakai Tomi Satryatomo untuk melontarkan kritis. Dalam akun Facebooknya, Tomi mengatakan kebijakan redaksional memang diskresi redaksi. Tapi menyengaja menutup mata atas fakta berkumpulnya jutaan orang dengan damai sebagai ekspresi demokrasi yang dijamin konstitusi sama saja dengan merenggut hak publik untuk tahu.
Wartawan senior lain juga tidak mau kalah. Mantan wartawan BBC Asyari Usman menyuguhkan ulasan "terbuka" pada medsos dengan judul "Koran Kompas Menghina Reuni 212".
Ia menilai Kompas telah melakukan kesalahan besar terkait kebijakan mereka dalam memberitakan peristiwa nasional, Reuni 212, karena sejumlah kalangan non Muslim yang hadir dalam acara yang berjalan super damai itu juga telah memberikan testimoni yang beredar luas di medsos.
Karena itu, Asyari Usman sampai pada kesimpulan bahwa penempatan "sampah" sebagai berita utama Kompas menyelipkan pesan bahwa segenap pimpinan redaksi Kompas menganggap Reuni 212 sebagai "peristiwa sampah".
Tulisan tersebut direspons Pemimpin Redaksi Kompas Ninuk Pambudy melalui akun twitter @ninuk_pambudy. Ninuk menyebutkan bahwa masalah sampah menjadi liputan Kompas sejak pekan lalu, jadi konsisten dari waktu ke waktu (bukan karena ada 'reuni' saja).
Wartawan senior dan mantan Wasekjen PWI M. Nigara juga meramaikan medsos dengan apa yang disebutnya sebagai otokritik pers.
"Sebagai sesama wartawan, tentu basis keilmuan kita sama. Bagi kita, kebenaran wajib dilaporkan. Bagi kita, berpihak dalam melaporkan fakta (apalagi jika ada imbalan materi) adalah haram. Bagi kita, kebebasan dan netralitas wajib dijaga," tulisnya.
Tapi, belakangan ini, tepatnya sekitar dua tahun terakhir, ada yang aneh menyeruak di dunia pers. Netralitas seperti tersapu gelombang. Keberpihakan menjadi terang-benderang. Fakta di depan mata, bukan lagi berita. Mereka telah mengubah jatidiri kewartawanan menjadi pedagang. Mereka telah mengkhianati kejujuran. Media mainstream tidak lagi ada pada orbit jurnalisme sesungguhnya.
Tak terbayangkan, ada jutaan manusia berkumpul bersama di satu tempat, sangat damai, tertib, dan mampu membersihkan tempat dengan baik, tidak jadi berita. Sungguh aneh, fakta besar dilewati begitu saja. Mereka mengabaikan seolah-olah mata mereka buta dan kuping mereka tuli.
Begitu juga Ilham Bintang. Ia menuliskan rakyat telah menemukan cara sendiri untuk menyampaikan berita. "Rakyat telah mencabut media mainstream dari sanubarinya!," tulisnya.
Ya, otokritik Hersubeno Arief, Tomi Satryatomo, Asyari Usman, M. Nigara, Ilham Bintang, dan sejumlah wartawan senior lainnya lewat medsos (yang juga sempat direspons Ninuk Pambudy), agaknya merupakan "pertengkaran terbuka" yang dilakukan wartawan versus wartawan.
Artinya, pertengkaran terbuka lewat medsos itu agaknya justru tidak hanya mewakili "bunuh diri" media massa, namun wartawan yang menulis "bunuh diri" untuk wartawan lain itu identik dengan media "membunuh" massa lewat "senjata" bernama media sosial/medsos. Ibarat "menelanjangi" diri sendiri dengan "otokritik" ala umpatan, seperti buta, menjual diri, pedagang, tuli, dan semacamnya.
Dengan demikian, "bunuh diri" pers akan semakin dipercepat dengan "saling bunuh" antar-wartawan, sehingga terjadi "pembusukan" yang justru membuka ruang lebar bagi medsos untuk bebas berkembang menyajikan informasi tanpa konfirmasi, klarifikasi, dan editing, apalagi akurasi, sehingga ujaran kebencian justru akan marak, apalagi menjelang Pilpres.
Padahal, penelitian tentang Agenda Setting sudah lama dilakukan para ahli komunikasi, seperti Walter Lippman (1965), Maxwell E. McCombs dan Donald L. Shaw (1972). Mereka menemukan bahwa ada korelasi yang kuat/signifikan antara apa-apa yang diagendakan oleh media massa dan apa-apa yang menjadi agenda publik.
McCombs dan Shaw percaya bahwa fungsi agenda-setting media massa bertanggung jawab terhadap hampir semua apa-apa yang dianggap penting oleh publik, namun ada juga teori yang berbeda bahwa korelasi belum tentu juga kausalitas, karena pekerja media kadang memang lebih dahulu mengetahui suatu isu dibandingkan dengan masyarakat umum.
Hal itu diakui ahli politik Bernard Cohen (1963) bahwa media massa lebih dari sekadar memberi informasi/opini, namun media massa sangat berhasil mendorong khalayak untuk menentukan apa yang perlu dipikirkan/dilakukan.
Artinya, agenda setting itu bisa berasal dari "seleksi" media terhadap kepentingan publik, namun bisa juga diciptakan oleh media untuk disampaikan kepada publik. Jadi, teori Agenda Setting itu tidak hanya berupa wartawan menyaring fakta, namun bisa juga berupa wartawan membentuk isu atau dan menentukan isu-isu yang lebih penting daripada isu-isu lain. Ibarat satu wawancara yang bisa beragam "angle".
Walhasil, agenda setting itu tidak perlu menjadi "pertengkaran terbuka" yang bersifat "saling bunuh" dengan sesama wartawan, karena penelitian agenda setting sudah lama ada.
Untuk itu, solusi untuk mewujudkan agenda setting yang objektif justru perlu dirumuskan, seperti mendorong lahirnya regulasi yang melarang "menyatunya" politisi-media, baik media massa dikuasai para politisi, maupun wartawan berpolitik harus "pensiun" dari kewartawanan, sebab mungkin saja "pertengkaran terbuka" itu dipicu "dukung-mendukung" (politik praktis).
Editor : Adi Lazuardi
Catatan Akhir Tahun - wartawan versus wartawan (Reuni 212)
Sabtu, 15 Desember 2018 16:26 WIB
Agenda setting itu bisa berasal dari "seleksi" media terhadap kepentingan publik, namun bisa juga diciptakan oleh media untuk disampaikan ke publik. Jadi, teori Agenda Setting itu tidak hanya berupa wartawan menyaring fakta, namun bisa juga wartawan