Astari mengungkapkan ada anggapan di masyarakat bahwa banyak berita yang saat ini disiarkan media mainstream dinilai berpihak pada kelompok tertentu.
"Masyarakat sudah tahu kalau pemilik media di Indonesia itu juga kebanyakan tokoh politik. Mereka juga tahu pemilik-pemilik media itu mendukung pemimpin ini atau ajaran yang itu," ujar dia.
Ketidaknetralan itu yang membuat masyarakat banyak berpaling dan kemudian mencari acuan informasi lain, yang dirasa cocok dengan pandangan hidup mereka, kata dia.
"Di situlah seringkali masyarakat mengenal akun-akun yang menyebarkan kabar bohong, tapi banyak yang tidak sadar itu hoaks karena informasi yang disajikan memuat dasar hidup mereka. Misalnya, soal agama, ajaran, atau kepercayaan mereka," tutur Astari.
"Berita-berita yang sesuai keyakinan itu otomatis akan membuat mereka nyaman. Tentunya tidak akan ada keraguan untuk menyebarluaskan informasi itu," kata dia.
kondisi itu, kata Astari, bisa menjadi "cambuk" bagi para pemilik dan pengelola media mainstream, sehingga ke depannya media diharapkan dapat lebih memperhatikan kode etik jurnalistik untuk menghasilkan karya jurnalistik bagi masyarakat.
Partisan gerus kepercayaan
Sementara itu, dosen komunikasi politik Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang Suryanto menyatakan media massa partisan akan menggerus kepercayaan publik, sekaligus makin menajamkan dikotomi di tengah masyarkat.
"Justru berbahaya bagi kelanjutan media itu sendiri. Dalam hal ini, masyarakat akan menjadi korban. Betapa dahsyatnya dampak dari pemberitaan yang tidak benar dan tidak bertanggung jawab, terutama oleh media partisan," ucapnya di Semarang, Jateng (3/12/2018).
Masalahnya, kata Suryanto, bukan hanya mengobrak-abrik rasa keadilan publik, melainkan lebih dari itu, akan mengacaukan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berita yang berkonten propaganda, kebohongan (hoaks), isu-isu suku agama, ras, dan antargolongan (SARA), kemudian kampanye negatif, kampanye hitam, provokatif terhadap lawan politik, menurut dia, akan berakibat pada buruknya demokrasi yang dibangun di negeri ini.
Di sisi lain, lanjut dia, hampir sebagian besar rakyat Indonesia masih banyak yang belum paham bagaimana membedakan antara berita bohong (hoaks) dan berita objektif. Tidak pelak lagi, informasi apa pun yang mereka terima ditelan begitu saja.
"Jadi, praktik oligopoli media massa bisa membuat, mengontrol, dan membentukan opini masyarakat. Hal itu dosa besar menggunakan media sebagai kepentingan politik," ujarnya.
Apalagi, diskursus tentang netralitas media massa di Indonesia pada tahun politik seperti sekarang ini menyisakan trauma mendalam di benak publik. Hal ini tidak jauh berbeda dengan Pemilu 2014 yang kala itu terjadi kubu-kubuan.
Media secara mati-matian dan terang-terangan membela salah satu kandidat dan menyerang kandidat yang lain. Tidak hanya di lingkup antarpartai politik (parpol) pengusung calon presiden semata, tetapi sudah merangsek jauh ke tengah massa pemilih.
"Akibatnya, pemberitaan menjadi `tidak berimbang` dan sudah pasti berat sebelah, terutama media penyiaran," ujarnya.(ed)
"Justru berbahaya bagi kelanjutan media itu sendiri. Dalam hal ini, masyarakat akan menjadi korban. Betapa dahsyatnya dampak dari pemberitaan yang tidak benar dan tidak bertanggung jawab, terutama oleh media partisan," ucapnya di Semarang, Jateng (3/12/2018).
Masalahnya, kata Suryanto, bukan hanya mengobrak-abrik rasa keadilan publik, melainkan lebih dari itu, akan mengacaukan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berita yang berkonten propaganda, kebohongan (hoaks), isu-isu suku agama, ras, dan antargolongan (SARA), kemudian kampanye negatif, kampanye hitam, provokatif terhadap lawan politik, menurut dia, akan berakibat pada buruknya demokrasi yang dibangun di negeri ini.
Di sisi lain, lanjut dia, hampir sebagian besar rakyat Indonesia masih banyak yang belum paham bagaimana membedakan antara berita bohong (hoaks) dan berita objektif. Tidak pelak lagi, informasi apa pun yang mereka terima ditelan begitu saja.
"Jadi, praktik oligopoli media massa bisa membuat, mengontrol, dan membentukan opini masyarakat. Hal itu dosa besar menggunakan media sebagai kepentingan politik," ujarnya.
Apalagi, diskursus tentang netralitas media massa di Indonesia pada tahun politik seperti sekarang ini menyisakan trauma mendalam di benak publik. Hal ini tidak jauh berbeda dengan Pemilu 2014 yang kala itu terjadi kubu-kubuan.
Media secara mati-matian dan terang-terangan membela salah satu kandidat dan menyerang kandidat yang lain. Tidak hanya di lingkup antarpartai politik (parpol) pengusung calon presiden semata, tetapi sudah merangsek jauh ke tengah massa pemilih.
"Akibatnya, pemberitaan menjadi `tidak berimbang` dan sudah pasti berat sebelah, terutama media penyiaran," ujarnya.(ed)