Nusa Dua (Antaranews Bali) - Organisasi AIDS Dunia (AHF) meminta Presiden Bank Dunia, Dr Jim Kim, menghentikan klasifikasi negara-negara berpenghasilan menengah (MIC) dalam Pertemuan Tahunan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional di Nusa Dua, Bali, sehingga negara tertentu tidak berhak mendapat bantuan.
"Kebijakan bank dunia terkait klasifikasi negara MIC mengakibatkan masyarakat miskin harus membayar lebih mahal untuk membeli obat-obatan, karena akses dukungan pendanaan global dibidang kesehatan berkurang, akibat negaranya tergolong MIC dan tidak berhak mendapatkan bantuan," kata Country Program Manager AHF Indonesia, Riki Febrian, di Nusa Dua, Kamis.
Selama berlangsungnya IMF-WB di Bali, AIDS Healthcare Foundation (AHFP) terus menyerukan kepada bank dunia, agar mengubah kebijakannya terkait MIC, karena negara-negara MIC itu memiliki beban yang lebih tinggi untuk penanganan HIV/AIDS, TB dan malaria, seperti Kamboja.
Saat ini, bank dunia menetapkan bahwa negara yang penduduknya memiliki penghasilan 2,73 dolar AS per jam, atau setara dengan harga secangkir kopi di banyak negara, tidak termasuk kelompok miskin.
Batas bawah untuk pencapaian berpenghasilan menengah (MIC) hanya 0,83 dolar AS di atas garis kemiskinan dunia yakni 0,9 dolar AS per hari.
Hal ini juga menjadi acuan Badan-badan pembangunan dunia seperti Dana Global untuk memerangi AIDS, Tuberkulosis, dan Malaria yang menggunakan skala bank dunia untuk menentukan siapa saja yang bisa mendapat bantuan.
"Ini adalah tindakan sewenang-wenang, yang berdampak pada banyak negara di dunia mencapai 73 persen atau 5 miliar jiwa yang kini tinggal di negara - negara MIC, padahal negara MIC memiliki beban AIDS tertuju pada 'global fund' untuk pengobatan dan penanganan HIV/AIDS," ujarnya.
Oleh karenanya, AHF sangat menentang tindak sewenang-wenang bank dunia yang menetapkan suatu negara sebagai negara miskin atau menengah.
Pihaknya mendesak bank dunia untuk menaikkan skala MIC (Raise the MIC) dan mengubah metodenya dalam mengklasifikasikan negara tersebut.
Akibat sistem klasfikasi yang dibuat bank dunia, maka Global Fund hanya bisa mengalokasikan dana bantuan dengan jumlah yang lebih kecil untuk negara-negara MIC, padahal negara-negara itu memiliki beban yang lebih tinggi untuk penanganan HIV/AIDS, TB dan malaria, seperti contohnya di Negara Kamboja.
"Dampak ini sangat jelas mempengaruhi Global Fund akan menghentikan pendanaannya dalam waktu beberapa tahun ke depan. Sehingga tidak lagi berhak mendapatkan dukungan dalam skala yang sama," katanya.
Sementara itu, Chief of Global Policy and Advocacy, Terri Ford mengatakan, dengan semakin banyaknya negara yang memiliki status MIC dan dianggap tidak berhak mendapatkan dukungan bantuan dana tersebut, artinya organisasi masyarakat sipil dipaksa untuk membubarkan diri.
"Jadi, makin banyak pekerjaan yang harus dilakukan dalam rangka memerang penyakit HIV/AIDS secara global mencapai 940.000 orang meninggal dunia akibat hal-hal terkait AIDS setiap tahun," katanya.
Oleh karenanya, pihaknya menilai sangat tidak bisa diterima bahwa orang yang memiliki penghasilan hanya 83 sen per hari, di atas garis kemisinan internasional dapat dianggap berpenghasilan menengah.
Jika Bank Dunia benar-benar ingin mengakhirí kemiskinan ekstrem dalam satu generasi, maka bank dunia harus mengubah caranya dalam mengelompokkan negara MIC.
"Kami menyerukan Dr. Jim Kim, Presiden Bank Dunia, untuk melakukan hal yang benar, dan menaikkan skala MIC (Raise the MIC)," ujarnya. (ed)
AHF minta Bank Dunia hentikan klasifikasi MIC
Kamis, 11 Oktober 2018 12:47 WIB
Akibat sistem klasfikasi dari bank dunia, maka Global Fund hanya bisa mengalokasikan dana bantuan yang lebih kecil untuk negara-negara MIC, padahal negara itu memiliki beban lebih tinggi untuk penanganan HIV/AIDS, TB dan malaria, seperti Kamboja