Denpasar (Antaranews Bali) - Pemerintah bersama dengan pelaku pariwisata di Bali semakin gencar melakukan promosi ke sejumlah negara untuk mendorong potensi bisnis yang lebih berkualitas seperti sektor pertemuan, insentif, konvensi, dan pameran atau MICE.
Disebut lebih berkualitas karena biasanya peserta MICE memiliki masa tinggal yang lebih lama dan pengeluaran yang lebih tinggi.
Mereka biasanya merupakan pelaku bisnis, pejabat pemerintahan hingga lembaga swadaya masyarakat yang melakukan pertemuan sembari melakukan kunjungan wisata di tempat berlangsungnya konferensi itu.
Dengan latar belakang wisatawan MICE itu, maka diperkirakan sebagian besar di antaranya memiliki kantong yang cukup tebal.
Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Bali Ida Bagus Agung Partha Adnyana menyebutkan rata-rata pengeluaran wisatawan MICE mencapai sekitar 500 dolar AS per hari.
Bisa dibayangkan, apabila mereka berada di Bali sekitar lima hari empat malam, maka total pengeluaran diperkirakan mencapai di atas 2.000 dolar AS.
Angka itu, kata dia, bisa saja bertambah apabila masa tinggal diperpanjang, mengajak serta keluarga dan mengeluarkan uangnya untuk membeli buah tangan untuk dibawa kembali ke negaranya.
Potensi bisnis MICE di Bali menjadi salah satu barang dagangan para pelaku pariwisata di Pulau Dewata untuk merebut celah pasar yang dapat dipenuhi.
Dalam berbagai kesempatan pada ajang internasional seperti ITB Berlin, World Travel Mart di London dan ajang pameran lainnya, mereka menawarkan bisnis tersebut agar bisa dilaksanakan di Bali.
Di penghujung tahun ini, pelaku pariwisata di Bali bersama pemerintah daerah juga terbang ke China untuk merebut pangsa pasar wisatawan salah satunya untuk bisnis MICE, salah satu bisnis wisata minat khusus yang diunggulkan pelaku pariwisata, selain olahraga, pernikahan, kesehatan dan spiritual.
Banyak pengalaman
Optimisme pelaku pariwisata di Bali merebut pasar industri MICE memang bukan sebatas angan belaka.
Sejak beberapa tahun belakangan, banyak pertemuan atau konferensi skala besar dilaksanakan di Bali dan itu sukses menarik peserta bahkan melampaui ekspektasi.
Sebut saja pertemuan lingkungan-perubahan iklim PBB atau UNFCCC tahun 2007, ajang ratu kecantikan Miss World tahun 2013, Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) tahun 2013, pertemuan Organisasi Perdagangan Sedunia (WTO) juga di tahun 2013.
Konferensi akbar yang terakhir adalah Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia yang digelar 8-14 Oktober 2018.
Dari total jumlah negara yang ada di permukaan bumi ini mencapai 192 negara, 189 di antaranya hadir di Bali dalam pertemuan akbar IMF dan Bank Dunia.
Para peserta yang semula ditargetkan mencapai 15 ribu orang, malah membengkak menjadi 86 ribu orang.
Mereka berasal dari berbagai kalangan, terutama pelaku ekonomi dan keuangan dunia seperti para menteri keuangan, gubernur bank sentral, pejabat pemerintahan, pelaku bisnis atau investor, dan akademisi serta dihadiri sejumlah kepala negara.
Pertemuan ini menjadi istimewa karena pertama kalinya digelar di Indonesia, sekaligus menjadi negara keempat di Asia yang menjadi tuan rumah setelah lebih dulu di Filipina tahun 1976, Thailand pada tahun 1991, dan Singapura pada tahun 2006.
Menariknya, kesempatan menjadi tuan rumah mungkin kembali datang lagi 567 tahun mendatang karena sebanyak 189 negara anggota mengantre untuk menjadi tuan rumah.
Padahal, pertemuan ekonomi tahunan itu hanya dilaksanakan di luar markas besarnya di Washington DC, Amerika Serikat, setiap tiga tahun sekali.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali Causa Iman Karana menyebutkan Indonesia khususnya Bali mendapatkan keuntungan triliunan rupiah dari pertemuan tersebut.
Pendapatan itu didapatkan dari pengeluaran delegasi dari sisi akomodasi, perjalanan udara, paket makan minum dan hiburan.
Causa juga menghitung investasi jangka panjang untuk pembangunan infrastruktur menyambut pertemuan itu yakni pengembangan apron atau parkir pesawat udara di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai mencapai Rp1,34 triliun.
Selain itu pengerjaan "underpass" atau jalan bawah tanah sebesar Rp289 miliar, penyelesaian patung Garuda Wisnu Kencana (GWK) sekitar Rp450 miliar dan pengembangan pelabuhan pariwisata di Benoa mencapai sekitar Rp1,7 triliun.
Menjadi contoh
Selain pengalaman, daya jual Bali sebagai acuan bisnis MICE juga karena lengkapnya unsur 3A dalam bisnis wisata seperti atraksi, aksesibilitas, dan amenitas.
Tidak dipungkiri Bali memiliki segudang atraksi seni dan budaya yang menjadi daya tarik bagi wisatawan yang ditemukan di hampir penjuru pulau kecil itu.
Selain itu akses yang mudah seperti bandara dan fasilitas pendukung jalan raya juga menjadi nilai tambah.
Konsep ketiga yakni amenitas yaitu ketersediaan sarana akomodasi untuk menginap serta restoran atau warung untuk makan dan minum yang juga lengkap.
Yang tidak kalah penting, di Bali memiliki kawasan terintegrasi yang representatif untuk melaksanakan pertemuan skala dunia yakni kawasan Bali Tourism Development Corporation (BTDC) di Nusa Dua, Kabupaten Badung.
Di kawasan elit itu, terdapat puluhan hotel bintang lima lengkap dengan dua kawasan khusus untuk menghelat pertemuan yakni Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC) dan Bali Internasional Convention Center (BICC).
Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali Anak Agung Yuniarta Putra mengatakan lengkapnya fasilitas itu menjadikan Pulau Dewata sebagai salah satu contoh bagi negara lain yang ingin mengembangkan bisnis MICE.
Ia menyebutkan Jeju di Korea Selatan ingin membuat kawasan terpadu seperti di Nusa Dua tersebut, begitu juga Phuket di Thailand dan Hainan di China.
Negara tersebut, lanjut dia, gedung untuk MICE memang tersedia namun belum terpadu seperti layaknya di BTDC.
Meski mengakui banyak saingan khususnya di kawasan regional Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia dan Singapura, namun ia optimistis unsur 3A dan keunikan budaya yang dimiliki, Bali masih menjadi acuan bisnis MICE.
Kini, tahun 2018 segera berganti, para pelaku pariwisata di Bali pun siap menyongsong tahun baru 2019.
Langkah pasang kuda-kuda pelaku pariwisata untuk menggaet potensi lebih besar bisnis MICE di Bali perlu didukung semua pihak termasuk masyarakat, agar Pulau Dewata menjadi magnet bisnis wisata berkualitas itu. (ed)