Denpasar (Antara Bali) - Nilai-nilai estetik lokal Bali dalam konteks industri pariwisata banyak dikemas menjadi atraksi andalan yang mampu menjadi salah satu daya tarik wisatawan dalam dan luar negeri berlibur ke Pulau Dewata.
"Nilai-nilai estetik itu belakangan banyak dimoditfikasi terhadap wujud-wujud artistik etnik yang dikemas untuk konsumsi pariwisata," kata kata Ketua Sanggar Seni Suar Agung Bali Dr I Ketut Suwentra, SST, MSC di Denpasar di Denpasar, Minggu.
Seniman andal yang sering memimpin tim kesenian daerah ini dalam lawatan ke mancanegara dan juga dosen mata kuliah kesenian etnik Bali di University Nagoya College of Music, Jepang itu mengatakan, seni rupa dan seni pertunjukan dimodifikasi sejak awal kedatangan wisatawan mancanegara.
Bentuk seni pentas yang tergolong sakral yang sebenarnya dipentaskan dalam kaitan kegiatan ritual juga dimodifikasi secara khusus untuk disuguhkan kepada pelancong.
Pemerintah Provinsi Bali membuat rambu-rambu agar kondisi itu tidak semakin parah yang berdampak negatif terhadap seni dan budaya Bali yang telah diwarisi secara turun temurun.
I Ketut Suwentra menambahkan, rambu-rambu tersebut diterbitkan melalui sebuah seminar seni sakral dan profan tahun 1971 yang menghasilkan kesepakatan atau klasifikasi, bahwa kesenian Bali menjadi seni Bali, seni bebali dan seni balih-balihan (tontonan).
"Klasifikasi itu menjadi acuan berkesenian masyarakat Bali, khususnya untuk kepentingan pariwisata," ujar I Ketut Suwentra.
Ia menilai, industri pariwisata merupakan sebuah situasi dan kondisi yang memberikan ruang dan peluang terhadap modifikasi seni pertunjukan Bali.
Demikian pula halnya dengan globalisasi dengan kecenderungan kapitalis dan konsumennya yang memicu modifikasi di tengah perkembangan masyarakat Bali.
Oleh sebab itu modifikasi seni pertunjukan Bali dalam konteks pariwisata diharapkan tidak merugikan perkembangan seni Bali secara menyeluruh yang merupakan bagian penting dari kehidupan masyarakat yang diwarisi secara turun temurun.(*)