Denpasar (Antaranews Bali) - Di era milineal saat ini, kalangan anak muda terkesan apatis terhadap politik dan hal tersebut tampaknya tidak perlu diperdebatkan lagi, karena memang merupakan realita yang terjadi di lapangan.
Coba saja dilihat berbagai komentar di sejumlah media sosial. Utamanya grup diskusi yang memiliki pengikut atau "follower" dengan jumlah ribuan. Kebanyakan anak muda terkesan acuh tak acuh dan "meboye" dalam istilah Bali. Kata "meboye" lebih pada sikap apatis dan mengarah pada guyonan tanpa substansi.
Jika ditelisik lebih jauh, keapatisan tersebut ternyata terjadi bukan tanpa dasar. Survei Polling Centre bekerja sama dengan Indonesia Corruption Watch (ICW) di 34 provinsi di Indonesia terkait antikorupsi menunjukkan fakta dan data cukup mencengangkan.
Partai politik menempati urutan paling buncit dari aspek kepercayaan publik terhadap lembaga/institusi negara. Partai politik dipercayai publik hanya sekitar 35 persen saja. Persentase tersebut jauh dari kepercayaan publik terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Presiden yakni sama-sama di angka sekitar 86 persen.
Bukan hanya pada tataran data, tetapi juga fakta. Hampir di setiap hari, anak muda disuguhi berbagai kasus korupsi dan juga hal-hal yang mengarah pada tindakan atau sikap kurang bijak. Kadang saling hujat dan menjelekkan pihak lain tanpa dasar. Bahkan kadang kala mengarah pada perilaku berbau SARA. Semua itu "tertampilkan dengan sangat indah dan rapi" di televisi maupun di linimasa berbagai media sosial.
Lantas, bagaimana nasib perpolitikan di Tanah Air pada masa depan jika anak-anak muda yang punya kemampuan dan pewaris pembangunan menjadi terus apatis? Apakah masih berlaku ungkapan generasi muda agen perubahan?.
Jika ada permasalahan maka harus ada jalan. Salah satu jalan adalah pendidikan politik yang baik dan santun untuk politikus. Mengenai konteks tersebut, tampaknya para politikus perlu membaca (jnana) dan kemudian menginsyafi dan menerapkan (wijnana) apa yang dikenal dengan konsep pendidikan karakter yang merupakan produk pemerintah.
Ada 18 nilai-nilai karakter versi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dalam Kurikulum 2013 yang sangat aplikatif seperti religius, jujur, disiplin, toleransi, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan atau nasionalisme, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggung jawab.
Adapun nilai-nilai pendidikan karakter itu sangatlah relevan dengan apa yang harus mereka (politikus) tunjukkan sebagai seorang yang memiliki tanggung jawab moral dimana tindak-tanduknya diikuti dan ditiru oleh khayalak ramai.
Jika ke-18 nilai-nilai tersebut diaplikasikan oleh para politikus, maka mereka akan menjadi sosok yang begitu disegani, dieluk-elukkan, dipuji, dan tentu paling penting akan menjadi panutan anak muda, karena telah menyuguhkan sikap mendidik dan mencerdaskan serta mencerahkan.
Elegan dan Bermartabat
Dalam teks Hindu, yakni Ramayana dan Mahabarata yang merupakan Itihasa atau sejarah yang memang benar-benar terjadi tampaknya perlu menjadi landasan dalam mengambil teori dan mencoba menunjukkan implementasi perpolitikan di bumi Nusantara.
Dalam kisah Ramayana, bagaimana Sri Rama dan Laksmana begitu dipuja oleh rakyatnya karena mampu menunjukkan sikap ideal seorang pemimpin. Nilai-nilai kepemimpinannya begitu termasyur di dunia ketika itu yang kemudian dikenal dengan "Asta Brata".
Dalam epos Mahabarata, bagaimana para Pandawa menjadi sosok-sosok yang begitu dikagumi. Kebijaksanaan Raja Yudistira adalah satu hal dapat dijadikan contoh. Bahkan musuh dianggapnya teman terbaik ketika sedang dalam suasana peperangan.
Jika ditelusuri kembali, hal itu dikenal dengan "karakter". Para tokoh dalam kedua epos tersebut seakan menyuguhkan hal begitu luar biasa dan mendidik, sehingga sering dipakai acuan sastra dalam pelaksanaan kepemimpinan era saat ini.
Selanjutnya, jika ditarik benang merah dan dibandingkan dengan para politikus saat ini. Dapat diperkirakan akan muncul kata-kata bahwa saya adalah manusia biasa. Tidak luput dari kesalahan. Saya tidaklah seperti para tokoh dalam epos-epos tersebut yang merupakan reinkarnasi Tuhan dan Dewata.
Hal tersebut sangat benar. Tetapi yang perlu dipahami adalah saat ini mereka (politikus) merupakan para tokoh (orang besar). Langkah orang besar akan ditiru oleh orang kecil. Jika berbuat kebenaran maka hal itu akan ditiru semua pihak, begitu sebalikya, sedikit saja salah maka akan timbul cibiran dan cacian serta menimbulkan ketindakpercayaan.
Maka, sangatlah diperlukan suguhan perpolitikan yang mendidik dan bernilai karakter agar para anak muda sebagai manusia pewaris pembangunan (humans development) di masa mendatang tidak terus acuh dan apatis, namun mampu menjadi agen perubahan (agent of change).
Karena itu, Gubernur Bali Made Mangku Pastika menyampaikan tiga pesan kepada dua pasangan calon kepala daerah yang berkompetisi dalam Pilkada Bali agar dapat mengikuti perhelatan politik itu dengan elegan dan bermartabat dengan menghindari tiga hal yakni politik uang, kekerasan dan kampanye hitam.
?Jangan hanya karena pilkada, beda pilihan, bisa menyebabkan perpecahan dan putusnya `menyama braya? (persaudaraan). Para politisi harus memberikan contoh atau teladan untuk menunjukkan kepada dunia bahwa hajatan politik di sini sejuk dan happy-happy saja," katanya.
Ya, jangan salahkan penonton yang mencemooh dan melempari seorang yang hanya mengaku penari (gadungan) karena menarikan sesuatu yang tidak sopan dan senonoh di atas panggung, tetapi salahkanlah penari bersangkutan karena seenaknya saja berlenggak-lenggok menampikan tarian aneh, karena memang sebenarnya dia tidak memiliki kualifikasi sebagai seorang penari profesional.
----------------
*) Penulis adalah Ketua Dewan Pimpinan Kabupaten (DPK) Perhimpunan Anak muda Hindu (Peradah) Buleleng.
Anak muda milineal butuh suguhan politik mendidik
Sabtu, 17 Februari 2018 5:32 WIB