Jakarta (Antaranews Bali) - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, menilai sepanjang 2017 cukup banyak kasus
yang menunjukkan bahwa perlindungan konsumen di Indonesia masih sangat
lemah.
"Padahal, konsumen adalah salah satu pilar utama roda perekonomian.
Tanpa konsumen, roda ekonomi akan lumpuh karena tidak ada transaksi apa
pun," kata dia, melalui pesan tertulis di Jakarta, Kamis.
Namun, meskipun menjadi salah satu pilar utama, dia menilai dalam
banyak hal konsumen justru berada pada posisi yang lemah dalam sistem
transaksi maupun roda perekonomian secara keseluruhan.
Negara sebagai pembuat aturan yang seharusnya menjadi penyeimbang
antara kepentingan konsumen dan pelaku usaha, justru terlihat lebih
banyak menempatkan konsumen pada posisi lemah tersebut.
"Akhirnya, pemenuhan hak-hak konsumen menjadi terpinggirkan. Itu
merupakan potret yang paling kentara untuk mencerminkan situasi dan
kondisi perlindungan konsumen pada 2017," katanya.
Abadi mengatakan, terdapat beberapa kejadian sepanjang 2017 yang menunjukkan negara belum hadir untuk melindungi konsumen.
Dalam kejadian penelantaran calon jamaah umroh misalnya, dia
menilai pemerintah mudah memberikan perizinan biro umroh, tetapi gagal
dalam mengawasi dan menegakkan hukum dalam melindungi calon jamaah.
Begitu pula dalam pro dan kontra perizinan pembangunan kawasan
perumahan terpadu di Cikarang, Jawa Barat. Perbedaan sikap antara
pemerintah Provinsi Jawa Barat dan pemerintah pusat menempatkan konsumen
pada ketidakpastian hukum, sementara promosi dilakukan secara
bombastis.
Abadi juga menilai negara justru menciptakan kegaduhan
baru yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Hal itu tercermin
pada kasus pendaftaran ulang pemegang kartu prabayar, wacana
penyederhanaan tarif listrik dan penerapan Gerakan Nasional Nontunai.
Negara juga terlihat tidak berdaya dalam melindungi konsumen dan
kepentingan publik karena kebijakan yang berorientasi pada pasar seperti
pada permasalahan tarif listrik dan bahan bakar minyak, kelangkaan gas
elpiji bersubsidi, serta impor bahan pangan yang masih saja terjadi.
Puncaknya adalah kriminalisasi konsumen oleh pelaku usaha. Konsumen
yang kritis memperjuangkan haknya justru dikriminalkan oleh pelaku
usaha dan dengan cepat diproses secara hukum.
"Padahal, saat banyak terjadi pelanggaran pidana oleh pelaku usaha
dalam ranah hak-hak konsumen, proses hukum yang terjadi justru sangat
lambat," katanya. (WDY)
YLKI: Selama tahun 2017 konsumen belum terlindungi
Kamis, 28 Desember 2017 12:12 WIB