Oleh I Ketut Sutika
Denpasar (Antara Bali) - Sinar mentari siang itu sudah di atas kepala. Tiupan angin yang semilir tidak mampu mengusir hawa panas di Subak Sengawang, wilayah Desa Adat Ole, Desa Marga Dauh Puri, Kabupaten Tabanan, 30 km barat laut Kota Denpasar.
Namun, semua itu tidak mampu menyurutkan I Wayan Karya (45) yang akrab disapa Pan Angga, maupun rekannya I Nyoman Pugur yang akrab disapa Pan Santhi (52), untuk terus mencangkul petakan sawah demi menyambung hidup keluarga dan menyekolahkan putra-putrinya.
Saat itu, kedua sosok petani yang mengolah sawah saling bersebelahan itu, muka dan badannya dipenuhi butiran-butiran keringat yang nyaris membasahi bajunya yang tampak sudah kumal itu.
Mereka istirahat sejenak di bawah pohon rindang di tegalan, untuk menikmati makan siang yang dibawakan oleh istrinya masing-masing di tengah hamparan sawah yang luas, dengan selokan yang tertata apik dan air yang mengalir masih jernih.
Kedua petani itu berdialog tentang kebijakan pemerintah Provinsi Bali untuk menerapkan pertanian organik, yakni semua proses produksi pertanian dalam arti luas itu menggunakan pupuk organik dan menghindari penggunaan pestisida.
Pupuk untuk menyuburkan tanaman menggunakan bahan baku kotoran sapi, babi dan limbah pertanian lainnya yang diolah sedemikian rupa sebagai pengganti pupuk produksi pabrik yang dikembangkan pada masing-masing sistem pertanian terintegrasi (Simantri).
Gubernur Bali Made Mangku Pastika yang mencangkan Pulau Dewata sebagai provinsi organik mempunyai sasaran untuk membangun 350 unit Simantri tersebar di delapan kabupaten dan satu kota di Bali. Hingga kini sudah terbentuk 150 unit, menyusul tahun 2012 dan 2013 masing-masing menambah 100 unit.
Masing-masing unit simantri itu diarahkan untuk mampu memproduksi pupuk ramah lingkungan untuk memenuhi kebutuhan petani di sekitarnya.
Wayan Karya, Pan Santhi dan ratusan ribu petani di Pulau Seribu Pura itu hendaknya mulai mengalihkan perhatian menggunakan pupuk organik, sebagai upaya mengurangi biaya proses produksi padi dan berbagai jenis komoditi pertanian lainnya.
Upaya tersebut sekaligus mampu mewujudkan pertanian ramah lingkungan, yang menjadi modal utama dalam menghadapi persaingan di eraglobal yang semakin ketat, tutur dosen Fakultas Pertanian Universitas Udayana Doktor Luh Kartini.
Namun peralihan itu tidak dapat dilakukan secara mudah, karena menyangkut sikap dan prilaku petani. untuk itu perlu proses pendidikan dan pendampingan agar secara sadar petani nantinya menggunakan pupuk organik, yang diproduksi bersama kelompok dan selanjutnya memanfaatkannya.
Untuk itu petani, peternak dan nelayan hendaknya mendukung dan menyukseskan pembangunan pertanian terpadu yang dirintis Gubernur Bali Made Mangku Pastika bersama Wagub AAN Puspayoga sejak 2009, kata Luh Kartini.
Pemprov Bali menurut Gubernur Made Mangku Pastika dalam tahun 2009 memberikan subsidi pupuk senilai Rp4 miliar guna meringankan beban para petani dalam membeli sarana produksi pertanian.
Subsidi tersebut diberikan kepada pengelola pabrik secara bertahap, untuk kemudian diteruskan kepada kelompok tani (koptan) yang memproduksi pupuk organik.
Subsidi pupuk tersebut dalam tahun 2010 masih tetap dianggarkan sebesar Rp4 miliar, yang penyalurannya diberikan kepada kelompok tani yang memproduksi pupuk organik sebanyak Rp2 miliar, dan Rp2 miliar sisanya diberikan kepada kelompok yang membuat pupuk phonstan.
Untuk 2011, persentase penyaluran subsidi pupuk tersebut lebih besar diberikan kepada kelompok tani yang memproduksi pupuk organik, yakni sebesar Rp3 miliar. Sedangkan Rp1 miliar sisanya akan diberikan kepada pabrik yang memproduksi pupuk anorganik.
Pada tahun 2012 dan selanjutnya Gubernur Pastika ingin seluruh subsidi pupuk diberikan kepada kelompok tani yang memproduksi pupuk organik.
Oleh sebab itu, 150 kelompok tani terpadu (simantri) yang dibangun dua tahun terakhir diberikan bantuan mesin untuk memproduksi pupuk organik dengan memanfaatkan kotoran ternak dan limbah pertanian lainnya.
Mesin pengolahan pupuk organik skala kecil dengan kemampuan produksi rata-rata dua ton per hari, harganya sekitar Rp250 juta.
Produksi pupuk tersebut diperkirakan mampu memenuhi kebutuhan anggota kelompok tani bersangkutan, sehingga tidak lagi tergantung pada produksi pabrik pupuk, ujar Gubernur Pastika.
Pujian
Duta Besar Hongaria untuk Indonesia Szilveszter Bus pernah memuji terobosan yang dilakukan Gubernur Bali Made Mangku Pastika dalam menguatkan identitas Bali sebagai provinsi organik.
Pihaknya sangat mendukung segala kegiatan yang bertujuan untuk melestarikan dan melindungi lingkungan. Pertanian organik dan industri organik adalah upaya nyata ke arah itu.
Pertanian dengan sistem organik sangat cocok dikembangkan di Pulau Dewata. Selain dilandasi Bali cukup dikenal dunia internasional, sebagai darah tujuan wisata, banyak turis, terutama dari negara-negara di kawasan Eropa datang ke Bali untuk menikmati hidup.
Dengan pertanian organik wisatawan akan mendapat banyak keuntungan. ?Mereka bisa mendapatkan makanan, minuman serta lingkungan yang sehat, ujar Dubes Szilveszter Bus saat menemui Gubernur Pastika.
Alam dan budaya
Doktor Ni Luh Kartini yang tampil sebagai salah seorang pembicara utama pada sarasehan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-33 menilai, pengembangan pertanian organik yang dirintis Pemprov Bali akan mampu mendukung pelestarian alam dan budaya, terutama yang terkandung dalam organisasi pengairan tradisional bidang pertanian (subak) yang diterapkan petani setempat secara turun temurun.
Pertanian organik yang diterapkan di kawasan konservasi mampu mencegah munculnya degradasi budaya dengan menekankan terciptanya keharmonisan. Keharmonisan itu antara manusia dengan lingkungannya serta organisasi subak tetap dapat dijaga keseinambungannya.
Sistem pertanian organik yang berbasis kearifan tradisional tidak hanya berlaku sfesifik terhadap konservasi kawasan alam, namun lebih bersifat luas untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan degradasi budaya Bali.
Oleh sebab itu karakter petani perlu dibangun agar dapat memahami setiap hasil yang dicapai, sekaligus berproses lebih efisien, jika memanfaatkan sumberdaya lokal dan tetap berpegang teguh pada kearifan lokal.
"Semua itu sudah mulai dirintis pemerintah setempat dalam mewujudkan pertanian organik," ujar Ni Luh Kartini.
Pemprov Bali melalui Dinas Pertanian Tanaman pangan setempat merangkul 34 kelompok tani untuk mengembangkan dan memanfaatkan usaha tani organik dengan harapan mampu memproduksi dan memanfaatkan pupuk ramah lingkungan dalam proses produksi berbagai jenis komoditi pertanian.
Jumlah kelompok tani itu menghimpun ratusan petani dengan menggarap lahan seluas 517,4 hektare. Ke-34 kelompok tani tersebut sebagian besar sudah memperoleh sertifikat organik berkat seluruh proses produksi menerapkan pola ramah lingkungan, tidak lagi menggunakan pestisida maupun pupuk anorganik yang diproduksi pabrik.
Sertifikat organik itu diberikan oleh sebuah lembaga di tingkat nasional maupun internasional yang berwenang untuk itu, yang sebelumnya melakukan penelitian dan pengkajian terhadap seluruh proses produksi yang dilakukan petani.
Kelompok tani itu diharapkan terus bertambah, dengan sasaran nantinya, Bali mampu menjadi pulau organik, yang secara tidak langsung meningkatkan citra Bali di dunia internasional, sekaligus memberikan dampak positif terhadap kehidupan masyarakat setempat, kata Ketut Teneng.(*)