Semarapura (Antara Bali) - Rumah milik keluarga I Gusti Made Puja (64) di Desa Sulang, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung, dilempari batu setelah sebelumnya keluarga yang bersangkutan dijatuhi sanksi "ketundung" atau terkucilkan oleh adat.
"Ketika itu saya sedang memetik bunga di halaman rumah, tiba-tiba dikejutkan suara lemparan batu yang jatuh ke bagian atap rumah saya," kata I Gusti Made Puja, si pemilik rumah yang tekena lemparan batu, di Semarapura, Sabtu.
Begitu mendegar ada suara lemparan batu, Puja mengaku langsung melakukan pengecekan ke bagian atas rumah, menemukan lima buah genteng dalam keadaan pecah.
"Saya menduga aksi pelemparan itu terkait dengan persoalan adat yang menimpa keluarga saya," ujarnya menjelaskan.
Aksi pelemparan batu oleh orang yang tak dikenal kali ini, merupakan untuk yang kedua kalinya dalam sepekan ini. "Pelemparan saat itu, dilakukan orang pada siang hari sekitar pukul 12.00 Wita," katanya.
Puja mengaku telah melaporkan kejadian itu secara tertulis ke pihak Polres Klungkung, namun pihak kepolisian belum berhasil menemukan pelaku anarkis tersebut.
"Saya hanya berharap keadilan dari kejadian ini. Kami minta polisi dapat melaklukan pengusutan secara tuntas," ucapnya.
Kepala Sub Bagian Humas Polres Klungkung AKP Ida Bagus Syiwa yang dihubungi terpisah, membenarkan adanya aksi pelemparan terhadap rumah warga yang terkena sanksi "ketundung" tersebut.
"Kami tengah melakukan penyelidikan atas kasus tersebut," ujarnya menjelaskan.
Sementara itu, kasus adat yang menimpa keluarga Puja sebenarnya sudah terjadi sejak 1972. Kemudian, pada 10 Juni lalu rumah milik keluarga Puja itu dipagari oleh warga desa adat.
Keputusan adat berupa sanksi "ketundung" itu diambil sehubungan warga setempat tidak terima dengan perlakuan keluarga Puja yang memakai gelar I Gusti di depan namanya.
Warga adat tidak terima itu karena gelar yang sesungguhnya dimiliki keluarga Puja adalah I Gusi atau Si, bukan I Gusti.
Kendati demikian, pihak keluarga Puja ngotot mengaku bahwa gelar yang disandangnya dari zaman dulu adalah I Gusti. Akibatnya, warga adat akhirnya memutuskan untuk menjatuhkan sanksi "ketundung" bagi warga yang dinilai membangkan itu.(*)