Denpasar (Antara Bali) - Selama sepekan terakir Bali menjadi sorotan sejumlah media cetak dan "online", terkait temuan kasus 43 pasien diduga terjangkit meningitis streptococcus suis (MSS) atau meningitis babi yang terjadi di sejumlah daerah setempat.
Kasus ini pertama kali mencuat saat RSUD Mangusada Kabupaten Badung, menerima 42 pasien diduga terjangkit meningitis babi, dan seorang di antaranya berasal dari Kabupaten Tabanan dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar. Dinas Kesehatan Provinsi Bali hingga kabupaten/kota setempat langsung melakukan upaya survailance atau pemantauan ke tempat pemotongan babi.
Tidak tanggung-tanggung, Pemkab Badung melalui Dinas Pertanian dan Pangan mengerahkan 30 dokter hewan tersebar di masing-masing kecamatan untuk memantau kesehatan ternak babi di sejumlah Rumah Potong Hewan (RPH) agar tidak menularkan penyakit itu ke hewan lainnya.
Petugas yang dikerahkan dalam upaya pencegahan penyakit "zoonosis" (penularan dari hewan ke hewan lainnya) tersebut juga dilibatkan dalam pembinaan dan penyuluhan kepada para peternak babi untuk rutin menjaga kebersihan kandangnya, sehingga bakteri tersebut tidak berkembang biak.
Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Badung, I.G.A Sudaratmaja mengatakan dari pemeriksaan sampel darah empat babi yang diambil dari sejumlah peternakan di Banjar Tanggayuda, Desa Bongkasa yang diduga terjangkit MSS, hasilnya negatif, tidak ada bakteri MMS.
Pengambilan sampel darah babi dilakukan di desa setempat, karena mewakili asal daging babi yang dipotong di RPH Desa Sibang yang sempat dibeli masyarakat setempat dan mengakibatkan 36 orang diduga terkena meningitis babi di antaranya 20 pasien dirawat di RSUD Mangusada, satu pasien dirawat di RSUD Wangaya Denpasar dan 21 kasus sedang menjalani rawat jalan.
"Dari hasil pemeriksaan laboratorium terhadap darah babi di daerah itu secara keseluruhan negatif, terbebas dari bakteri MSS. Namun, kami tetap mengimbau kepala desa se-Kabupaten Badung untuk melakukan pencegahan penyakit ini melalui surat edaran yang kami kirim sebelumnya," kata Sudaratmaja.
Terkait isi surat edaran tersebut, kata dia, mendorong masyarakat yang memelihara ternak babi agar rutin menjaga kebersihan kandang, kebersihan ternak, memotong ternak di RPH pemerintah.
Gerak cepat juga dilakukan Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Bali melakukan pencegahan penyakit MSS dengan melakukan pengambilan sampel darah lengkap terhadap lima warga di Desa Sibang yang tidak menjalani rawat inap di rumah sakit.
Kepala Dinkes Provinsi Bali, dr Ketut Suarjaya beberapa waktu lalu menyatakan, pengambilan sampel darah lima warga diduga terjangkit meningitis babi itu dilakukan di Banjar Tagtag, Desa Sibang karena mengalami keluhan yang sama dengan pasien sebelumnya yang dirawat di RSUD Mangusada.
Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Provinsi Bali, dr. Gede Wira Sunetra menegaskan, kasus MSS itu belum masuk kategori kejadian luar biasa (KLB), karena kategori ini baru dapat dinyatakan apabila sudah ditemukan penderita positif penyakit MSS dan terjadi peningkatan dua kali lipat dari tahun sebelumnya.
Wira mengatakan, pada 2015 tercatat penyakit ini hanya ditemukan 10 kasus yang positif, tahun 2016 (26 kasus positif) dan 2017 baru tiga kasus yang dinyatakan positif.
Untuk gejala klinis bakteri tersebut, kata dia, memiliki riwayat panas, perubahan kesadaran, kaku kuduk, sakit kepala, serta sering menimbulkan tuli saraf derajat sedang, berat dan bilateral. Sedangkan masa inkubasi penyakir ini berlangsung selama 14 hari.
Penyakit ini dapat dicegah sejak dini dengan mengimbau masyarakat untuk membeli daging babi di tempat resmi sehingga dapat dipastikan babi yang dipotong sehat dan mengolah dagingnya secara higienis.
Dalam upaya ini, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali bersama Pemkab Badung dan Balai Besar Veteriner (BBVet) Denpasar juga telah melakukan investigasi pada ternak babi di rumah potong hewan terduga MSS.
Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali, Putu Sumantra juga mengklaim telah melakukan investigasi ke sejumlah lokasi asal babi yang dipotong dan mengambil sampel darahnya di rumah potong hewan dan tempat warga yang melakukan aktivitas serupa untuk diproses di BBVET.
Demikian pula disampaikan Kepala Bidang Kesehatan Hewan Disnakeswan Provinsi Bali drh Ketut Nata Kusuma, bahwa ciri yang paling terlihat pada babi yang terjangkit bakteri Streptococus adalah adanya gangguan syaraf pada kaki ternak. Kakinya akan sering terlihat kejang-kejang.
Selain itu, ciri lainnya adalah nafsu makan ternak menurun dan terjadi peningkatan suhu tubuh hewan itu. Babi yang terjangkit bakteri ini dapat diterapi dengan antibiotik untuk penyembuhannya, sedangkan bagi babi yang sudah mati harus segera diisolasi.
Ketua Asosiasi Ilmuwan Peternakan (AIP) Universitas Udayana Prof Komang Budarsa menambahkan, pencegahan penyakit ini agar tidak ditularkan dari hewan ke hewan, maka wajib dilakukan pembersihan kandang dengan desinfektan setiap seminggu sekali, menjaga kebersihan tempat pakan babi, tidak memberikan pakan sisa dari hewan yang sakit, jangan memotong babi yang sakit dan tidak membuang limbah secara sembarangan.
Tidak Khawatir
Merebaknya kabar negatif terkait bakteri meningitis ini, membuat sejumlah masyarakat umat Hindu di Bali khawatir mengonsumsi daging yang sering digunakan untuk kegiatan ritual dan hidangan kuliner khas (babi guling) yang digemari wisatawan Tiongkok.
Dalam upaya meredam kabar burung itu, Ketua Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali Jero Gede Suwena Putus Upadesha, mengajak masyarakat untuk tidak takut memotong babi dan mengonsumsi dagingnya menjelang Hari Suci Galungan, meskipun di sejumlah kabupaten di Pulau Dewata muncul kasus tersebut.
Pihaknya mengimbau kepada umat Hindu di Bali agar tidak terlalu phobia (takut berlebihan) untuk mengonsumsi daging babi itu, namun tetap waspada dalam mengolahnya, agar betul-betul terbebas dari bakteri streptococcus suis dengan cara memasaknya matang.
Biasanya daging babi ini, kata dia, sering dibuat masakan "lawar" yang menggunakan darah mentah, sehingga ia mengimbau agar masyarakat mengurangi penggunaan darah mentah pada makanan itu. Di sisi lain, dia mengingatkan masyarakat Bali untuk tidak melupakan sisi niskala (rohaniah) ketika akan menyembelih hewan ternak. Baik untuk konsumsi dan ritual, terlebih dahulu hewan harus dimandikan agar benar-benar bersih dan dilantunkan doa.
Ketua Asosiasi Ilmuwan Peternakan (AIP) Universitas Udayana Prof Komang Budarsa juga mengimbau masyarakat agar tidak takut mengonsumsi, karena dari hasil pemeriksaan laboratorium di Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali sudah menyatakan sampel darah babi di sejumlah daerah negatif tidak terjangkit bakteri streptococcus suis.
Menurut dia, isue yang tidak benar di media sosial terhadap penyakit ini telah membawa dampak besar terhadap perekonomian masyakat di Pulau Dewata khususnya kepada para peternak babi dan penyedia kuliner dengan olahan daging babi itu. Komang Budarsa menilai tidak semua babi yang ada di Bali terinfeksi MSS, namun tetap higienis dalam mengolah daging itu agar bakteri yang ada di dalamnya mati.
"Gejala babi terinfeksi penyakit ini dapat dilihat dengan adanya pembengkakan pada sendi kaki ternak, tidak mau makan, kulitnya terlihat kemerahan, terdapat ingus dan ngorok, maupun adanya batuk darah pada hewan itu," ujarnya. Penularan penyakit, kata Budarsa, dapat melalui kontak kulit babi yang terinfeksi, khususnya kulit babi yang terluka.
Ia menilai, daging babi aman dari bakteri penyakit itu apabila dimasak dengan suhu di atas 56 derajat celcius. "Untuk masyarakat yang doyan mengonsumsi daging babi guling tidak perlu khawatir, karena babi guling dimasak selama dua jam dengan suhu panas arang 110 derajat celcius," ujarnya.
Imbauan kepada masyarakat untuk tidak khawatir mengonsumsi daging babi juga disampaikan Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali I Putu Sumantra yang mengatakan bahwa, bakteri Streptococus Suis pada babi akan mati apabila dimasak sampai matang, namun apabila daging ini diolah tidak benar maka akan berdampak negatif bagi kesehatan. "Masyarakat jangan takut untuk mengonsumsi daging babi, meskipun di sejumlah kabupaten ditemukan kasus ini," katanya.
Potensi Kuliner
Dampak dari penyakit MSS atau meningitis babi yang terjadi di sejumlah daerah di Pulau Dewata, khususnya bagi pedagang babi guling yang ada di Kabupaten Badung membuat sejumlah pejabat angkat bicara dan megimbau masyarakat tidak khawatir membeli makanan dengan olahan babi itu.
Hal ini sempat disampaikan Gubernur Bali Made Mangku Pastika beberapa waktu lalu yang menekankan bahwa munculnya kasus ini agar tidak dipublikasikan terlalu berlebihan, agar masyarakat khususnya pedagang kuliner dengan olahan daging babi tidak sampai mengalami kelumpuhan. "Saya mengharapkan isu ini jangan sampai melumpuhkan perdagangan kuliner babi guling di Pulau Dewata," katanya.
Kekhawatiran pedagang ini, juga mendapat perhatian serius dari Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Badung, A.A Ngurah Ketut Nadi Putra yang mengharapkan peran media ikut memberikan edukasi kepada masyarakat agar bersama-sama menjaga warisan kuliner khas tersebut.
Nadi Putra mengaku, dampak isu penyakit ini sangat memengaruhi omzet pedagang dengan olahan daging babi (babi guling dan be genyol) di Kabupaten Badung, sehingga dikhawatrikan apabila kasus ini berlanjut maka akan mematikan potensi kuliner khas Pulau Dewata itu.
"Saya juga sangat prihatin terhadap peternak babi, pedagang (babi potong dan pedagang babi guling), karena dengan adanya isu ini terjadi penurunan omzet penjualan," katanya.
Untuk meredam isu yang tidak benar di masyarakat ini, pihaknya meminta media dan dinas terkait ikut mensosialisasikan penyakit ini secara benar, karena sejak dahulu masyarakat Bali sudah sejak lama memelihara babi dan kasus ini bukan disebabkan karena virus, namun diakibatkan bakteri Streptococus.
Pihaknya juga mengkhawatrikan di tengah ekonomi masyarakat yang sulit saat ini akan berdampak pada penjualan daging babi akan menurun menjelang Hari Raya Galungan dan Kuningan, padahal saat hari raya ini masyarakat umat Hindu di Bali memasak makanan dengan olahan daging babi itu.
Untuk memulihkan phobia masyarakat terhadap daging babi, Ketua Dewan Pimpinan Kabupaten Perhimpunan Pemuda Hindu (DPK Peradah) Badung, I.B Angga Purana Pidada memiliki inisiatif mengadakan festival babi guling. Festival diadakan di Kabupaten Badung, termasuk di Universitas Udayana, guna mengembalikan citra kuliner asli Bali.
Pihaknya mengharapkan stigma negatif terhadap makanan khas umat Hindu di Pulau Dewata itu tidak tercoreng akibat isu meningitis babi yang tidak benar dipahami masyarakat, sehingga umat Hindu di Bali tidak takut mengonsumsi daging babi. Selain itu, upaya ini diyakininya dapat membantu memulihkan perekonomian pedagang daging babi dan penyedia kuliner babi guling. (WDY)
Gerak Cepat Pemprov Bali Tangani Meningitis Babi
Senin, 20 Maret 2017 8:58 WIB