Denpasar (Antara Bali) - Rasa kehilangan terhadap sosok ulama yang "ngemong" (melayani) umat dan republik ini, yakni KHA Hasyim Muzadi, yang wafat pada 16 Maret 2017, agaknya seperti tidak akan ada hentinya, bahkan tahlil (mendoakan orang yang sudah meninggal dunia) ada di mana-mana.
Namun, kehilangan itu harus tetap disemangati dengan ikhtiar untuk memedomani lima warisan almarhum, yakni adab (akhlak), kesederhanaan, mementingkan kemaslahatan masyarakat, meneguhkan cinta Tanah Air (nasionalisme), dan menjaga perdamaian bangsa, negara, dan dunia.
Adab atau akhlak itulah keseharian Kiai Hasyim Muzadi. Baginya, perbedaan pendapat itu harus dimaknai untuk saling memahami, bukan seperti sekarang yang memaknai perbedaan pendapat justru untuk saling menyalahkan, mem-bid`ah-kan, mengkafirkan, me-neraka-kan, dan seterusnya.
Pandangan itu yang mendasarinya mendirikan Pesantren Khusus Mahasiswa Al-Hikam di Malang dan Depok untuk mencetak intelektual yang berakhlak Al-Quran, bahkan hafal Al-Quran, sehingga tidak mudah menyalahkan tanpa mengetahui latar belakang di balik sebuah ritual.
"Ayat yang pertama diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah `iqra` (bacalah) yang menyiratkan pentingnya menguasai ilmu dunia bagi kehidupan dunia dan ilmu agama untuk bekal di akhirat. Keduanya harus seimbang, sehingga kita memiliki ilmu dan akhlak," katanya.
Dalam berbagai kesempatan, ia mencontohkan Imam Syafii dan Imam Hambali yang merupakan guru dan murid. Imam Syafii memandang bahwa qunut dalam Shalat Subuh itu sunnah muakkad, sedangkan Imam Hambali justru menilai qunut itu bid`ah, tapi silaturahim keduanya tidak terganggu.
Contoh lain yang juga penting adalah Buya Hamka dan Idham Khalid. Saat itu, Buya Hamka menjadi Ketua MUI, sedangkan Idham Khalid menjadi Ketua Umum PBNU, namun saat Buya Hamka yang juga petinggi Muhammadiyah itu menjadi imam dengan Idham Khalid sebagai makmum, maka Buya Hamka justru melakukan qunut.
"Masalahnya, orang sering mengikuti ilmu ulama tapi tidak mengikuti akhlak ulama. Mestinya, kalau ikut ilmu ulama ya harus ikut akhlak ulama. Kalau anak-anak NU dan Muhammadiyah sekarang sudah tidak mempersoalkan qunut itu karena mereka sudah sama-sama tidak Shalat Subuh," kelakarnya, disambut tawa hadirin.
Cara Kiai Hasyim Muzadi yang humoris atau suka bercanda itu juga menjadi ciri khasnya, sehingga kritik yang dikemas dengan humor akan membuat orang yang dikritik tidak merasa sakit, namun justru dapat menerima saran yang lucu tapi logis itu.
Satu hal lagi yang menjadi keseharian Kiai Hasyim Muzadi adalah kesederhanaannya. Bahkan, Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin menilai Kiai Hasyim Muzadi di luar negeri sekalipun tetap "meng-Indonesia" dengan sarung putih atau berwarna, baju putih, kopiah hitam, dan sorban yang dililitkan leher. Ya, Islami secara akhlak dan akidah, tapi Indonesiawi secara budaya dan sosial.
Warisan penting lainnya adalah kemaslahatan umat. "Yang saya selalu ingat itu pesan beliau, keluarkan kebijakan untuk kepentingan masyarakat," kata Wali Kota Depok Mohammad Idris, saat berada di rumah duka, di lingkungan Pondok Pesantren Al Hikam, Kukusan, Depok (16/3).
Catatan yang sama juga dialami Wagub Jatim H Saifullah Yusuf. "Almarhum adalah tokoh NU yang sangat besar perhatiannya pada upaya-upaya memberdayakan rakyat bawah. Setiap program kerja organisasi, almarhum anggap benar dan baik jika ujungnya adalah memberdayakan kelompok masyarakat kecil," kata salah seorang Ketua PBNU itu.
Bagi almarhum, pemahaman kitab kuning saja tidak lagi cukup. Santri harus melek persoalan keadilan sosial. Misalnya, almarhum menyoroti pihak tertentu yang menguasai 80 persen ekonomi nasional dan rawan dalam perkembangan bangsa terkait konteks kesenjangan sosial.
Islam moderat hendaknya juga diarahkan untuk dapat memberdayakan umat. Pada titik ini, almarhum mengkritik sebagian kalangan yang asyik bicara soal pemikiran Islam, tetapi melupakan kondisi umat yang timpang dan tertinggal secara ekonomi, sosial, dan politik.
"Saya dianggap mulai bergeser ke kanan, tidak lagi di tengah, karena pernyataan itu (kesiapan mendukung penuh PDIP jika partai itu mau mengorbitkan kader sendiri dalam Pilkada DKI). Saya jelaskan bahwa hal itu sama sekali tidak didasari semangat keagamaan yang sempit ataupun ketidaksukaan kepada golongan etnis tertentu, melainkan demi kedaulatan politik dan ekonomi yang terancam kekuatan modal," kata almarhum, September 2016.
Pengakuan Dunia
Selain memberi perhatian terhadap akhlak, kesederhanaan, dan kemaslahatan umat, Kiai Hasyim Muzadi juga sangat mencintai republik ini dengan memperjuangkan hubungan agama dan negara yang saling mengisi sebagaimana perjuangan pendiri NU Hadratussyeikh KHA Hasyim Asy`ari dengan idiom "Cinta Tanah Air merupakan bagian dari Iman".
Bahkan, almarhum juga memperjuangkan perdamaian dunia dengan menawarkan konsep Islam Nusantara yang diajarkan para wali (walisanga) dan para pendiri NU serta pendiri Republik Indonesia tercinta yakni Islam yang moderat.
"Apa yang dimaksud dengan moderat adalah bagaimana nilai agama masuk ke negara dan bagaimana negara melindungi agama. Tapi yang sekarang terjadi adalah agama dihadapkan pada negara, maka negara menjadi penindas agama, agama menjadi pemberontak negara. Kondisi ini, dalam jangka panjang pasti membahayakan Republik Indonesia," kata Kiai Hasyim Muzadi.
Itulah cuplikan pernyataan KH Hasyim Muzadi saat diundang menjadi pembicara pada salah satu stasiun televisi. Pernyataan itu tidak mungkin keluar jika seseorang tersebut tidak mempunyai kedalaman ilmu agama dengan semangat kebangsaan yang kuat pula.
"Semangat beliau dalam menyebarkan perdamaian dan Islam moderat bahkan mendapat pengakuan dunia internasional. Beberapa kali beliau diundang untuk menyampaikan pandangan keislamannya yang inklusif dan toleran di hadapan Sidang Majelis PBB," kata anggota pengurus Lajnah Ta`lif wa an-Nasr PWNU Jawa Timur, W Eka Wahyudi.
Tak hanya berhenti di situ, Kiai Hasyim Muzadi juga mendorong terwujudnya dunia Islam yang damai melalui tindakan nyata dengan memobilisasi ulama di berbagai Negara untuk merumuskan gerakan perdamaian melalui wadah Islamic Conference of Islamic Scholar (ICIS).
Pandangan itu juga dibenarkan Rais Syuriah PCI NU Australia, Nadirsyah Hosen. "Hasyim Muzadi secara luas dikenal sebagai pejuang Islam moderat berdasarkan akidah ahlus sunnah wal jama`ah (Aswaja)," katanya.
Islam moderat ala Aswaja itu meneruskan tradisi Islam yang rahmatan lil `alamin yang dibawa Wali Songo dan kemudian dilembagakan Hadratussyekh Hasyim Asy`ari dalam wadah jam`iyyah Nahdlatul Ulama.
"Berulang kali beliau menegaskan keyakinannya bahwa Islam di Indonesia harus menjadi contoh dari Islam yang moderat dan juga nasionalis," katanya dalam tulisannya pada sebuah media nasional.
Pandangan keagamaan almarhum terwujud dalam sikapnya yang kalem, akrab, dan humoris. Serasa tidak ada jarak berbicara dengan almarhum. Relasinya luas. Almarhum merangkul semua pihak, mulai pendeta sampai Rizieq Shihab, bahkan dengan Grand Syekh al-Azhar Kairo, Mufti di berbagai negara Timur Tengah hingga Dr Abdullah Badawi, mantan Perdana Menteri Malaysia.
Bagi Kiai Hasyim Muzadi, pandangan seperti Rizieq Shihab itu tidak mungkin dibungkam, karena akan tetap bisa muncul dalam bentuk lain, karena itu langkah yang penting adalah mengupayakan pandangan itu tetap dalam koridor kebangsaan atau sejalan dengan nilai-nilai Pancasila yang sudah disepakati secara final oleh para pendiri bangsa.
"Namun, almarhum tetap bersikap kritis terhadap ideologi yang dirasa tidak cocok diterapkan di Indonesia. Gerakan ekstremis dan liberalis dikritik habis. Islam moderat harus berdiri di tengah. Almarhum tidak ingin Islam di Indonesia ditarik ke poros Saudi, atau poros Iran, karena paham atau gerakan dari poros-poros itu tidak mengakar pada budaya dan karakter Indonesia," katanya.
Dalam kapasitas sebagai Sekretaris Jenderal ICIS (International Conference of Islamic Scholars) dan pejuang Islam Rahmatan lil Alamin, Kiai Hasyim Muzadi melalui pernyataan yang tersebar di media sosial menjawab tuduhan intoleransi agama di Indonesia yang dikaitkan dengan Ahmadiyah, GKI Yasmin Bogor, izin pendirian gereja, Lady Gaga, Irshad Manji, perkawinan sejenis, dan HAM.
"Ada faktor lingkungan yang penting dilihat. Indonesia lebih baik toleransinya daripada Swiss yang tidak memperbolehkan Menara Masjid, lebih baik daripada Perancis yang masih mempersoalkan Jilbab, lebih baik daripada Denmark, Swedia dan Norwegia, yang tidak menghormati agama, karena di sana ada UU Perkawinan Sejenis. Kita harus sadar dan tegas, membedakan mana HAM yang benar dan mana yang Westernisme," katanya.
Ya, Kiai Hasyim Muzadi ingin menjaga keseimbangan (jalan tengah). Ketika sudah ada keseimbangan, maka ia akan berada di tengah. Sebaliknya, jika salah satu sisi lebih berat, maka ia akan berada di sisi yang lebih ringan. Itulah salah satu dari empat prinsip Islam moderat yang diperjuangkan NU, yakni tawazun (seimbang), tawassuth (moderat), i`tidal (tegak lurus/adil), dan tasamuh (toleran). (WDY)