Denpasar (Antara Bali) - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat angka kredit bermasalah atau "nonperforming loan" (NPL) bank umum di Bali tahun 2016 mencapai 2,09 persen, atau masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan rata-rata nasional yang mencapai 2,91 persen.
Sedangkan NPL bank perkreditan rakyat (BPR) di Bali meningkat 2,22 persen selama tahun 2016 dari 2,69 persen pada tahun 2015 menjadi 4,91 persen.
Walau mengalami kenaikan, NPL BPR di Bali selama setahun itu masih lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata nasional yang mencapai 6,09 persen.
Meski demikian, hal itu ternyata menjadi celah bagi oknum-oknum tidak bertanggung jawab menyasar debitur-debitur yang berada dalam kondisi terdesak untuk menyelesaikan kewajibannya membayar hutang di bank.
Tak ayal, nasabah "rapuh" itu menjadi sasaran empuk bagi oknum-oknum tidak bertanggung jawab menjalankan aksinya.
Otoritas Jasa Keuangan mengendus adanya gaya baru penipuan yang dijalankan perusahaan atau lembaga yang menjanjikan pelunasan kredit dan ajakan tidak membayar utang ke bank-bank, perusahaan pembiayaan maupun lembaga jasa keuangan lainnya.
Penawaran dan ajakan itu belakangan muncul di beberapa daerah dengan mengatasnamakan PT Swissindo World Trust International Orbit (UN Swissindo) dan Koperasi Indonesia.
Kepala Regional 8 OJK Bali dan Nusa Tenggara Zulmi mengungkapkan Satgas Waspada Investasi telah menyatakan kegiatan UN Swissindo dan Koperasi Indonesia yang menerbitkan jaminan pelunasan hutang debitur, baik di bank maupun perusahaan pembiayaan (multi-finance), itu tidak dibenarkan alias ilegal karena tidak sesuai dengan mekanisme di perbankan dan lembaga pembiayaan.
Oleh karena itu OJK mengajak semua pihak, khususnya para debitur dan pelaku usaha jasa keuangan untuk waspada dan berhati-hati agar tidak mudah tergiur terhadap penawaran dan atau ajakan dari pihak manapun terkait hal tersebut.
Modus Tipuan
OJK menyebutkan modus pelunasan kredit dilakukan dengan menawarkan janji pelunasan kredit atau pembebasan hutang dengan sasaran para debitur macet pada bank-bank, perusahaan-perusahaan pembiayaan maupun lembaga-lembaga jasa keuangan lainnya.
Caranya dengan menerbitkan surat jaminan atau pernyataan pembebasan hutang yang dikeluarkan dan mengatasnamakan presiden dan negara Republik Indonesia maupun lembaga internasional dari negara lain.
Para debitur tersebut, dihasut untuk tidak perlu membayar hutang mereka kepada para kreditur.
Modus lain penawaran ini di antaranya mengatasnamakan negara dan atau lembaga negara tertentu dengan dasar kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan mencari korban yang terlibat kredit macet dan menjanjikan akan menyelesaikan utangnya dengan jaminan Surat Berharga Negara.
Zulmi yang juga Ketua Tim Kerja Satuan Tugas Waspada Investasi Bali itu mengungkapkan perusahaan yang menawarkan praktik tersebut sudah mulai memasuki Bali, terbukti dengan adanya pengaduan dari debitur dan perbankan di Pulau Dewata.
Tidak tanggung-tanggung, selama awal tahun ini sudah ada 11 bank, baik bank umum maupun BPR, di Bali yang mengajak serta debiturnya mendatangi OJK untuk melakukan konfirmasi terkait operasional perusahaan tersebut.
Menurut Zulmi, perusahaan yang menjanjikan pelunasan hutang itu kerap mengaku memiliki uang pelunasan dengan nilai yang fantastis, yakni ratusan triliun yang tersimpan dalam bentuk sertifikat di Bank Indonesia (SBI) dan di bank lain serta cadangan uang ratusan miliar.
Bank Indonesia pada Agustus 2016 sudah membantah informasi tersebut.
Dalam praktiknya nasabah diharuskan membayar sejumlah uang untuk keperluan administrasi mulai Rp500 ribu hingga Rp5 juta per bulan.
Usut Tuntas
PT Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali, merupakan satu di antara bank lainnya yang mengindikasikan ada sekitar empat debitur di kantor cabang Karangasem yang tergiur perusahaan pelunasan hutang dengan nilai kredit mencapai hingga miliaran rupiah.
Direktur Operasional PT BPD Bali I Gusti Ngurah Agustana Mendala mengatakan pihaknya tidak serta merta bisa melaporkan perusahaan yang diduga melakukan praktik ilegal kepada pihak kepolisian karena bank tidak menjadi korban penipuan.
Apabila debitur lebih percaya dengan iming-iming tersebut dan menunggak kewajiban melunasi hutang di bank, Mendala menambahkan maka pihak bank dapat melelang aset yang dijadikan jaminan melalui ketentuan hukum.
Tentu saja debiturlah yang paling dirugikan, yakni biaya yang sudah terlanjur disetor kepada perusahaan pemberi janji itu dan karena hutang belum dilunasi, maka hutang dan kewajiban debitur di bank akan tetap dihitung karena dianggap menunggak.
Sementara itu Kepala BPD Bali Cabang Karangasem Ida Bagus Ari Suryantara saat dikonfirmasi langsung oleh Mendala mengatakan bahwa perusahaan yang diduga mengiming-imingi debiturnya tersebut adalah UN Swissindo dan Koperasi Indonesia yang ditengarai praktik tersebut berlangsung sekitar tiga bulan lalu.
Ari mengaku bahwa debitur itu sudah tidak mau terbuka dengan pihak bank, termasuk biaya yang mereka bayar kepada perusahaan pelunasan kredit tersebut.
Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) Bali meminta nasabah agar mewaspadai tawaran perusahaan yang melunasi kredit karena tidak sesuai mekanisme lazim perbankan.
Menurut Sekretaris Perbarindo Bali Ketut Komplit, sekitar tujuh hingga 15 debitur BPR mengaku didatangi oleh oknum dari perusahaan yang memberikan jaminan pelunasan kredit di bank.
Oknum tersebut semakin gencar mencari debitur-debitur yang memiliki tunggakan cukup besar, sehingga mudah dipengaruhi.
Wakil Gubernur Bali Ketut Sudikerta meminta perusahaan atau lembaga yang berjanji melunasi kredit debitur di bank agar diproses hukum apabila terbukti melakukan praktik tersebut kepada masyarakat.
"Saya perintahkan tim bergerak dan melakukan verifikasi dan kalau betul dia (perusahaan) bodong, ditindak, diproses hukum," katanya.
Kerja sama dengan sejumlah instansi terkait bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu dilakukan untuk mengambil langkah kongkrit terkait kasus pelunasan kredit.
Tim Kerja Satgas Waspada Investasi Bali, termasuk di dalamnya OJK, kepolisian dan instansi terkait lainnya tengah merapatkan barisan dan saling berkoordinasi guna mencegah kerugian bagi industri jasa keuangan dan masyarakat.
Di sisi lain, OJK meminta debitur yang masih memiliki kewajiban kredit kepada industri jasa keuangan agar tetap menyelesaikan seluruh kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati dan menghubungi pihak bank atau perusahaan pembiayaan terkait.
Untuk itu, masyarakat diingatkan agar tidak mudah tergiur dengan janji manis membawa harapan palsu dari perusahaan atau lembaga yang akan melunasi hutang di bank dengan tetap berhati-hati. (WDY)